Entri Populer

Tayangan halaman minggu lalu

SELAMAT DATANG

Untuk informasi lebih lanjut klik disini
kunjungi juga blog kami lainya di

Senin, 29 November 2010

Pengaruh aspek material tax planning PPh pasal 21 pegawai terhadap beban pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi akhir tahun periode April 2007-Maret 2009

1.1 Latar Belakang penelitian
Seiring dengan perkembangan perekonomian era globalisasi di Indonesia pemerintah dituntut untuk dapat menciptakan kegiatan pembangunan nasional yang berlangsung secara terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materiil maupun spiritual. Sedangkan untuk melaksanakan pembangunan nasional membutuhkan dana yang relatif besar. Oleh karena itu Negara harus menentukan sumber dana yang bisa menjamin keberlangsungan pembangunan tersebut. Pada masa lalu sumber utama pembiayaan pembangunan berasal dari kekayaan alam berupa Migas dan pinjaman luar negeri yang hanya bersifat sementara. Namun perlu disadari bahwa karena keberadaannya yang terbatas dan kurang menunjang kemandirian suatu bangsa atau negara serta karena pola pembiayaan tersebut dipandang kurang baik untuk jangka panjang.
Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau Negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu dengan menggali sumber dana yang ada, yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak maka pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak melakukan terobosan dengan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan dibidang perpajakan. Penyelenggaraan pemungutan pajak ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang menjamin hak dan kewajiban wajib pajak serta pemungut pajak (fiskus).
Sistem pemungutan pajak di Indonesia menganut self assessment system, yaitu wajib pajak diberikan kepercayaan dan tanggungjawab yang lebih besar untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan kewajiban pajaknya. Aparat perpajakan dalam hal ini melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaannya. Dengan menganut prinsip tersebut pemerintah memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menjalankan kewajiban perpajakan atas kesadaran dan rasa tanggung jawabnya. Untuk pengawasan atas laporan yang disampaikan wajib pajak akan diadakan pemeriksaan oleh fiskus.
Bagi setiap orang, pajak merupakan beban yang akan mengurangi penghasilan. Beban pajak penghasilan merupakan angsuran pajak penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak setiap bulan dalam tahun pajak berjalan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 Undang-undang Pajak Penghasilan. (Erly Suandy, 2005:171). Pada umumnya hampir setiap wajib pajak baik orang pribadi maupun badan mempunyai keinginan untuk membayar pajak yang serendah-rendahnya, bahkan berusaha untuk menghindarinya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan tax planning yang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Fenomena yang terjadi saat ini adalah wajib pajak berusaha untuk meminimalkan beban pajaknya bahkan menghindari kewajiban perpajakannya. Indikasi yang menyatakan bahwa wajib pajak menghindari kewajiban perpajakannya dapat dilihat dari data tunggakan pajak dibawah ini:
Tabel 1.1
Perkembangan Tunggakan Wajib Pajak
di Indonesia Tahun 1999 – 2005 (Dalam juta rupah)
Tahun
Angg. Tunggakan
Awal Penambahan Jumlah tunggakan Pencairan tunggakan Pencairan tunggakan (%) Tunggakan akhir
1999 11.358.993 13.036.200 24.395.193 9.594.677 39,33 14.800.516
2000 14.800.516 9.199.934 24.000.450 10.641.605 44,34 13.358.845
2001 13.358.845 12.166.834 25.525.679 8.220.430 32,20 17.305.249
2002 17.305.249 13.928.158 31.233.407 12.651.759 40,50 18.581.648
2003 18.866.800 20.302.969 39.169.769 12.593.715 32,15 26.576.054
2004 26.576.054 21.862.337 47.438.391 22.543.476 47,52 25.894.915
2005 25.894.915 11.852.334 37.747.249 18.088.482 47,92 19.658.767
Sumber : Direktorat Jenderal Pajak 2006
Dari seluruh jumlah tunggakan wajib pajak setiap tahunnya rata-rata dilunasi dibawah 50% per tahun dari jumlah pajak yang tertunggak. Data tersebut menunjukkan bahwa penyetoran pajak belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik oleh Wajib Pajak. Kondisi tersebut ditunjukkan dengan masih banyaknya wajib pajak yang belum melunasi tunggakan pajak. Hal tersebut dikarenakan wajib pajak merasa pajak yang mereka bayar cukup besar jumlahnya supaya jumlah pajak yang mereka bayar dapat menjadi minimum maka wajib pajak perlu melakukan perencanaan pajak (tax planning) akan tetapi tidak menyimpang dari peraturan yang telah ada.
Selain itu, indikasi lain yang menyatakan bahwa wajib pajak melalaikan kewajiban perpajakannya dapat dilihat dari masih banyaknya ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, berupa Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak (SKP). STP dan SKP berfungsi sebagai instrument pengawasan terhadap Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakan.
Berikut data mengenai jumlah STP dan SKPKB yang diterbitkan sebagai hasil pemeriksaan oleh Kantor Pelayanan Pajak Bandung Tegallega tahun 2003-2005 sebagai berikut:
Tabel 1.2
Penerbitan STP dan SKPKB Tahun 2003-2005
Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Tegallega

Tahun
Diterbitkan STP
Diterbitkan SKPKB
2003 750 74
2004 2141 46
2005 1016 43
Sumber : Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Tegallega, 2008
STP (Surat Tagihan Pajak) merupakan surat untuk melakukan tagihan pajak dan sanksi administrasi berupa bunga atau denda berdasarkan hasil penelitian fiskus atas SPT yang disampaikan Wajib Pajak. Dilihat dari Surat Tagihan Pajak (STP) yang diterbitkan setelah pemerikasaan oleh KPP Pratama Bandung Tegallega mengalami kenaikan dan penurunan setiap tahunnya, hal tersebut mengindikasikan bahwa wajib pajak melakukan penghindaran pajak atau dapat juga dikatakan wajib pajak belum melaksanakan kewajiban perpajakannya sebagaimana mestinya.
Berdasarkan tabel 1.2 diatas dapat dilihat bahwa Surat Tagihan Pajak (STP) yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak jumlahnya semakin meningkat setiap tahunnya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa masih ada wajib pajak yang belum melaksanakan kewajiban perpajakannya sebagaimana mestinya, dimana salah satu penyebabnya adalah wajib pajak merasa jumlah pajak yang harus dibayar sangat memberatkan sehingga dengan demikian wajib pajak perlu melakukan perencanaan pajak (tax planning) supaya beban pajak yang harus mereka bayar menjadi lebih efektif dan efisien.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar diterbitkan bilamana Wajib Pajak tidak membayar pajak sebagaimana mestinya menurut peraturan perundang-undangan perpajakan. Diketahuinya bahwa Wajib Pajak tidak atau kurang membayar pajak adalah karena dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak. Kemudian alasan lain diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah Surat pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat 3 UU KUP dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan dalam jangka waktunya sebagaimana ditentukan surat teguran. Penerbitan SKPKB yang berfungsi sebagai instrument pengawasan terhadap Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakan juga dapat dijadikan indikasi bahwa wajib pajak melakukan penghindaran pajak. Dilihat dari Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) yang diterbitkan setelah pemeriksaan oleh KPP Pratama Bandung Tegallega mengalami penurunan setiap tahunnya. Walaupun terjadi penurunan setiap tahunnya akan tetapi masih ada indikasi yang menunjukkan adanya wajib pajak yang menghindari pajak atau belum melakukan kewajiban perpajakannya sebagaimana mestinya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ismarita tentang pengaruh penerapan tax planning biaya pegawai terhadap beban pajak terhutang wajib pajak badan menyimpulkan bahwa sebelum penerapan tax planning laba perusahaan pada tahun 2005 sebesar Rp 2.588.978.000,00. Sedangkan laba perusahaan setelah penerapan tax planning sebesar Rp 2.195.985.800,00. Terlihat bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara PPh terhutang sebelum dan sesudah penerapan tax planning. Selisih atau penghematan PPh terhutang perusahaan tahun 2005 sebesar Rp 392.992.200,00. Dengan demikian terjadi penghematan pajak perusahaan sebesar 8,21%. Implementasi dari penelitian ini adalah bahwa tax planning dapat dipergunakan sebagai saran pengelolaan pajak yang dapat menunjang efisiensi beban pajak perusahaan. Selain itu tax planning merupakan upaya yang dilakukan oleh perusahaan untuk melakukan partisipasi aktif dalam aktivitas perpajakan secara terkendali dan terencana.
Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian saya, yaitu: variabel X (tax planning) dan Variabel Y (beban pajak terhutang wajib pajak).
Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah dilihat dari indikatornya, penelitian yang dilakukan Ismarita indikator yang digunakan adalah laba perusahaan, sedangkan penelitian saya indikator yang digunakan adalah tahapan dari tax planning dan beban pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi akhir tahun. Skala pengukuran yang digunakan oleh Ismarita adalah rasio untuk indikator laba perusahaan, sedangkan skala pengukuran yang saya gunakan adalah ordinal untuk tax planning dan rasio untuk beban pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi akhir tahun. Selain itu, terdapat juga perbedaan dari segi unit penelitiannya, unit penelitian dari penelitian yang dilakukan Ismarita adalah wajib pajak badan (perusahaan), sedangkan unit penelitian saya adalah wajib pajak orang pribadi.
Perencanaan pajak (tax planning) merupakan upaya untuk meminimalisasikan beban pajak akan tetapi tidak menyimpang dari peraturan yang ada.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh aspek material tax planning PPh pasal 21 pegawai terhadap beban pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi akhir tahun periode April 2007-Maret 2009 (studi kasus pada wajib pajak orang pribadi di lingkungan UNIKOM)”.

Pengaruh Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi Atas Tax Payer’s Service Quality Terhadap Pelaksanaan Self Assessment System

1.1 Latar Belakang Penelitian
Bagi Indonesia, penerimaan pajak sangat besar peranannya dalam mengamankan anggaran Negara dalam APBN setiap tahun. Penerimaan Negara yang berkesinambungan dimungkinkan dan layak dibangun adalah perolehan dari sektor pajak. Struktur penerimaan Negara dalam APBN menempatkan penerimaan sektor pajak sebagai pos penerimaan terbesar. Kondisi itu tercapai ketika harga minyak bumi yang berfluktuasi di pasar internasional dalam kurun waktu relatif panjang pada awal dekade 1980-an. Fluktuasi harga itu telah membuat struktur penerimaan Negara yang saat itu sangat mengandalkan penerimaan dari minyak bumi dan gas alam (migas) tidak bisa diandalkan lagi untuk kesinambungannya. Untuk itu, pemerintah pada tahun 1983 mengambil kebijakan dengan melakukan reposisi andalan bagi penerimaan Negara yakni dari migas menjadi pajak.
Usaha ekstensifikasi dan intensifikasi pajak untuk meningkatkan jumlah penerimaan Negara dengan tidak mengandalkan pada penerimaan dari sektor migas, kemudian dilakukan Reformasi perpajakan sebagai perubahan peraturan lama sampai keakar-akarnya, dasar falsafah dan sistem pemungutan diterapkan di Indonesia. Karena bagaimanapun, dengan mengandalkan sistem perpajakan yang sebelumnya akan menghalangi usaha peningkatan efisiensi industri dalam negeri, dimana sistem perpajakan yang ada dianggap belum efektif untuk menjangkau segala aspek perpajakan. Dan secara jelas IGGI (Inter Govermental Group of Indonesia) menyebutkan bahwa sistem perpajakan di Indonesia berada di bawah standar sistem perpajakan nasional. (Sony dan Siti, 2006:75)
Pembaharuan sistem perpajakan nasional melalui reformasi perpajakan (tax reform) diupayakan untuk mendukung reposisi penerimaan andalan dari sektor pajak agar berjalan baik. Maka untuk pertama kalinya dilakukan reformasi perpajakan pada tahun 1983, yaitu perubahan atas sistem Official Assessment System menjadi Self Assessment System. Bila dengan Official Assessment System, maka yang menghitung dan menetapkan besarnya pajak terutang yang harus dibayar oleh masyarakat adalah pihak fiskus yakni berdasarkan data dan informasi yang dimiliki. Sedangkan dengan Self Assessment System, maka diberikan kepercayaan kepada masyarakat (Wajib Pajak) untuk menghitung sendiri besar pajak yakni sesuai dengan transaksi atau kondisi yang dialami dan kemudian dibayar ke kas Negara.
Perubahan sistem pemungutan pajak tersebut memiliki tujuan penting yaitu meningkatkan jumlah penerimaan pajak sebagai penyumbang terbesar penerimaan Negara untuk tujuan pembangunan. Tujuan reformasi perpajakan menurut Sony dan Siti (2006:78) adalah meningkatkan kualitas pelayanan kepada Wajib Pajak (Tax Payer’s Service Quality) sebagai sumber aliran dana untuk mengisi kas Negara, menekankan terjadinya penyelundupan pajak (tax evasion) oleh Wajib Pajak, meningkatkan kepatuhan bagi Wajib Pajak dalam penyelenggaraan kewajiban perpajakannya, menerapkan konsep good governance, adanya transparansi, responsibility, keadilan, dan akuntabilitas dalam meningkatkan kinerja instansi pajak sekaligus publikasi jelasnya pos penggunaan pengeluaran dana pajak, dan meningkatkan penegakan hukum pajak, pengawasan yang tinggi dalam pelaksanaan administrasi pajak, baik kepada fiskus maupun kepada Wajib Pajak.
Berikut ini adalah perkembangan rencana dan realisasi Penerimaan Pajak selama reformasi perpajakan dengan manganut sistem Self Assessment di Indonesia untuk periode 1996 – 2005 sebagai berikut :
Tabel 1.1
Perkembangan Rencana dan Realisasi
Penerimaan Pajak di Indonesia Periode 1996 – 2005 (dalam milyar Rp)
Tahun Rencana Realisasi % rencana / realisasi
1996 50.146.9 48.686,3 103 %
1997 64.220,7 57.339,9 112 %
1998 75.899,6 70.934,2 107 %
1999 108.538,1 102.394,4 106 %
2000 120.549,0 115.912,5 104 %
2001 185.540,9 185.540,9 100 %
2002 210.087,5 210.087,5 100 %
2003 256,571,1 242.048,2 106 %
2004 292.133,5 280.897,6 104 %
2005 371.897,5 347.567,8 107%
Sumber: Direktorat Jendral Pajak 2006

Berdasarkan tabel 1.1, dapat terlihat bahwa peningkatan dalam rencana penerimaan pajak terjadi cukup besar, tetapi belum dapat dikatakan bahwa penerimaan pajak tersebut optimal. Hal ini dapat terlihat dari perbandingan perhitungan potensi pajak (realisasi) berdasarkan aktivitas ekonomi sebenarnya (potensi pajak teoritis) yang menunjukan angka yang lebih kecil, sehingga pada prosentase perkembangan rencana dan realisasi terjadi fluktuasi peningkatan prosentase, ini menunjukan bahwa semakin besar tingkat prosentase maka semakin besar pula penerimaan pajak yang belum terealisasi. Berdasarkan laporan audit kinerja Direktorat Jenderal Pajak tahun 2006 disebutkan bahwa hasil perhitungan potensi pajak teoritis dikaitkan dengan realisasi penerimaan pajak menunjukkan tingkat realisasi yang masih rendah dengan tingkat perbedaan (gap) yang cukup besar . Rata-rata Tax Coverage Ratio di Indonesia selama 10 tahun sebesar 65%, berarti masih ada 35% pajak yang belum tergali, walaupun setiap tahun potensi yang tergali tersebut semakin menunjukkan peningkatan. Berikut ini adalah Perkembangan Tax Covearage Ratio di Indonesia Periode 1996 – 2005 sebagai berikut :

Tabel 1.2
Perkembangan Tax Covearage Ratio
di Indonesia Periode 1996 – 2005 (dalam milliar)
Tahun Realisasi Potensi pajak Coverage ratio (%)
1996 48.686,3 83.357,5 58,4
1997 57.339,9 98.757,5 58,1
1998 70.934,2 117.684,2 60,3
1999 102.394,4 173.950,2 58,7
2000 115.912,5 234.155,8 49,5
2001 185.540,9 277.255,8 66.8
2002 210.087,4 276.067,6 76.1
2003 242.048,2 316.817,0 76.4
2004 280.897,6 373.534,0 75.2
2005 347.567,8 493.004,0 70.5
Sumber: Direktorat Jendral Pajak 2006

Berdasarkan tabel 1.2, dapat diketahui bahwa meningkatnya penerimaan pajak seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, belum dapat menjadi indikator bahwa penerapan Self Assessment System telah sukses dan menjadi sistem pemungutan pajak terbaik yang dapat dilaksanakan di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari potensi pajak walaupun setiap tahunnya mengalami peningkatan, namun dalam realisasinya tercapai lebih kecil dari yang seharusnya, artinya terjadi gap yang cukup besar antara potensi pajak dengan realisasinya, walaupun prosentase perkembangan Tax Coverage Ratio yang setiap tahunnya mengalami peningkatan,namun tetap saja masih ada pajak- pajak yang belum tergali.
Hal ini dapat diketahui dari Penyampaian SPT baik masa maupun tahunan yang masih rendah. Kondisi penyampaian SPT dalam 10 tahun terahir, dalam mengembalikan atau melaporkan SPT di Indonesia menunjukkan bahwa perbandingan antara SPT yang dikirim dengan SPT yang masuk rata-rata kurang dari 50% . berkisar antara 35% sampai dengan 45%, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1.3 dibawah ini :
Tabel 1.3
Kepatuhan Wajib Pajak Dalam
Mengembalikan SPT di Indonesia Periode 1996 - 2005
Tahun SPT dikirim SPT Masuk % SPT masuk / SPT Dikirim
1996 1,650,722 737,897 44.70
1997 1,762,522 731,850 41.52
1998 1,841,297 695,016 37.75
1999 1,949,322 690,012 35.40
2000 1.988.669 701.394 35,27
2001 2.270.870 815.985 35,93
2002 2.583.960 1.068.467 41,35
2003 2.582.550 1.141.516 44,20
2004 2.608.362 1.212.729 44,23
2005 2.712.205 1.235.409 45,54
Sumber: Direktorat Jenderal Pajak 2006

Fenomena diatas dapat memberikan gambaran bahwa pelaksanaan Self Assessment System oleh Wajib Pajak belum dilakukan sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan oleh Undang-undang perpajakan. Jika Wajib Pajak melaksanakan Self Assessment System dengan baik tentunya penerimaan negara dari sektor pajak akan lebih optimal.
Pembaharuan sistem dilakukan terus menerus, dengan telah dilakukannya beberapa kali reformasi dimulai tahun 1983, kemudian tahun 1994, selanjutnya pada tahun 2000, dan kini ditahun 2007 dan 2008 telah ditetapkan peraturan perundang-undangan perpajakan terbaru mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) serta Pajak Penghasilan (PPh). Pembaharuan dari sudut peraturan perpajakan tidak saja memberi jaminan pada pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan baik untuk wajib pajak maupun fiskus, tetapi juga memberi kesempatan dan peluang untuk menyempurnakan sistem administrasi perpajakan yang menjadi pendukung utama pelaksanaan pemungutan pajak.
Penyempurnaan sistem administrasi perpajakan tersebut juga termasuk didalamnya melakukan pembenahan kinerja kantor pajak maupun aparatur (Sumber Daya Manusia) perpajakan. Hal ini mencakup peningkatan kemampuan dan keterampilan aparatur pajak dalam rangka memahami, menguasai dan melaksanakan peraturan perpajakan yang baru. Bagi instansi pajak juga menekankan pada peningkatan pelayanan kepada Wajib pajak, agar dapat mendorong kepatuhan Wajib pajak, karena sebagian besar pekerjaan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan itu dilakukan oleh Wajib Pajak, sehingga kepatuhan diperlukan dalam Self Assessment System, dengan tujuan pada penerimaan pajak yang optimal.
Berdasarkan penelitian Siti Kurnia Rahayu (2008:113), kualitas pelayanan kepada Wajib Pajak memberikan pengaruh terhadap tindakan penyelundupan pajak. Penyelundupan pajak merupakan usaha aktif Wajib pajak dalam memanipulasi utang pajak, hal ini dapat terjadi karena iklim perpajakan di Indonesia mengandalkan Self Assessment System. Dengan harapan pelayanan yang diberikan kepada Wajib Pajak mampu memenuhi harapan dan kebutuhan Wajib Pajak maka akan semakin baik tingkat pelaksanaan Self Assessment System Wajib pajak.
Pelayanan pajak adalah termasuk pelayanan publik karena dilaksanakan oleh instansi pemerintah, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan undang-undang, dan tidak berorientasi pada laba. Salah satu langkah penting yang dilakukan DJP sebagai wujud nyata kepedulian pada pentingnya kualitas pelayanan adalah memberikan pelayanan prima kepada Wajib Pajak dalam mengoptimalkan penerimaan Negara. Untuk itu pada awal tahun 2003 dibentuk Tim modernisasi Administrasi Perpajakan jangka menengah yang menyusun administrasi perpajakan modern dengan sasarannya yaitu tercapainya tingkat kepatuhan sukarela Wajib pajak yang tinggi, tercapainya tingkat kepercayaan terhadap administrasi perpajakan yang tinggi, serta tercapainya produktivitas aparat perpajakan yang tinggi pula.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”Pengaruh Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi Atas Tax Payer’s Service Quality Terhadap Pelaksanaan Self Assessment System (Studi Kasus Pada Wajib Pajak Orang Pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Majalaya)”.

Rabu, 09 Desember 2009

Pngrh Perspsi Wjb Pjk Org Prbdi atas Prnsip Keadiln Pemngtan Pjk Thd Kpthn Wjb Pjk

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian
Pajak merupakan gejala sosial dan hanya terdapat dalam suatu masyarakat. Tanpa adanya masyarakat, tidak mungkin ada suatu pajak. Masyarakat yang dimaksudkan adalah masyarakat hukum. Perlu diketahui, bahwa manusia hidup bermasyarakat masing-masing (individu) membawa hak dan kewajiban. Pajak ditinjau dari segi mikroekonomi, merupakan peralihan uang (harta) dari sektor swasta/individu ke sektor masyarakat/pemerintah, tanpa ada imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk. Dengan diundangkannya undang-undang pajak baru, bertalian dengan pembaharuan pajak-pajak yang masih berbau kolonial, pemerintah mengalami kesulitan-kesulitan yang bertalian dengan itu. Selain rakyat harus dibuat menjadi sadar pajak, rakyat juga dijadikan tax minded dan sekaligus ditanamkan tax discipline yang kuat, didasari dengan kejujuran yang mantap. Walupun agak terlambat, namun belum merupakan kegagalan, sehingga masih dapat dilakukan usaha-usaha yang dapat menyelamatkan keuangan negara dan dengan demikian melangsungkan kehidupan negara. (Rochmat Soemitro,2004:5)
Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan aktif wajib pajak dalam menyelenggarakan perpajakan membutuhkan kepatuhan wajib pajak yang tinggi. Yaitu, kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang sesuai dengan kebenaran. Karena sebagian besar perpajakan itu dilakukan oleh wajib pajak, bukan fiskus pemungut pajak. Safri Nurmantu mengatakan bahwa kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. ( Sony Devano;110).
Pada prinsipnya, kepatuhan perpajakan adalah tindakan wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu negara. Predikat wajib pajak patuh dalam arti disiplin dan taat, tidak sama dengan wajib pajak yang berpredikat pembayar pajak dalam jumlah besar, tidak ada hubungan antara kepatuhan dengan jumlah nominal setoran pajak yang dibayarkan pada kas negara. Karena, pembayar pajak terbesar sekalipun belum tentu memenuhi kriteria sebagai wajib pajak patuh, meskipun memberikan kontribusi besar pada negara, jika masih memiliki tunggakan maupun keterlambatan penyetoran pajak maka tidak dapat diberi predikat wajib pajak patuh. Misalnya, ketentuan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Tahunan tanggal 31 Maret. Apabila wajib pajak telah melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Tahunan sebelum atau pada tanggal 31 Maret, maka wajib pajak telah memenuhi ketentuan formal, namun isinya belum tentu memenuhi ketentuan material, yaitu suatu keadaan dimana wajib pajak secara subtantif memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa Undang-undang Perpajakan. Kepatuhan material dapat meliputi kebutuhan formal. Wajib Pajak yang memenuhi kepatuhan material adalah wajib pajak yang mengisi dengan jujur, lengkap, dan benar surat pemberitahuan sesuai ketentuan dan menyampaikannya ke KPP sebelum batas waktu berakhir.
Masyarakat Wajib Pajak, terutama Wajib Pajak Orang Pribadi, sering mengeluhkan rumitnya sistem perpajakan di Indonesia. Biasanya yang menjadi tolok ukur kerumitan pajak itu adalah pengisian SPT. Bagi masyarakat pada umumnya, pengisian SPT dianggap sulit walaupun sebenarnya Direktorat Jenderal Pajak sudah membuat formulir tersebut sesederhana mungkin. Malahan disediakan buku petunjuk untuk lebih mempermudah pengisian SPT tersebut. Awal tahun ini malah diperkenalkan adanya SPT PPh Orang Pribadi Sangat Sederhana (formulir 1770 SS). Tapi memang relatif sulit bagi masyarakat kebanyakan untuk bisa memahami cara-cara pengisian SPT secara instan. Hal ini disebabkan bahwa pengisian SPT memerlukan pemahaman tentang konsep perpajakan. Belum lagi adanya istilah-istilah teknis dalam pajak yang tidak bisa dipahami secara mudah oleh masyarakat. Ditambah lagi adanya cara menghitung pajaknya yang berbeda-beda tergantung subjeknya, objeknya ataupun kondisinya.
Karena sulit dan rumitnya cara menghitung pajak dan menuangkanya dalam SPT, selalu ada suara-suara yang menghendaki agar masalah pajak ini dibuat mudah. Bukankah salah satu asas perpajakan adalah harus adanya kemudahan? Memang benar, bahwa praktek perpajakan harus dibuat semudah mungkin agar masyarakat bisa dengan mudah menunaikan kewajibannya menghitung dan menyetorkan pajak ke negara. Namun ada aspek lain yang harus diperhatikan dalam merumuskan ketentuan pajak. Aspek tersebut adalah keadilan.
Salah satu prinsip pajak yang harus dipenuhi dalam implementasi pajak adalah masalah keadilan ini. Memang agak sulit merumuskan pengertian adil. Tapi, paling tidak kondisi keadilan tersebut dapat dirasakan oleh kita dalam implementasinya. Penerapan tarif progresif, adanya PTKP, adanya deducctible dan non dedctible expense dan adanya penyusutan fiskal adalah beberapa contoh implementasi untuk menciptakan keadilan tersebut.
Sayangnya, dalam praktek perpajakan, asas kesederhanaan dan prinsip keadilan ini sering tidak sejalan dan malah bertentangan. Dengan kata lain, jika pajak dibuat sederhana maka aspek keadilan akan terabaikan. Sebaliknya, jika prinsip keadilan yang diutamakan maka aspek kesederhaan akan terabaikan. Untuk menggambarkan hal ini, saya coba memberikan contoh sederhana sebagai berikut. Apabila Pajak Penghasilan ingin dibuat mudah maka dibuat saja ketentuan bahwa “setiap penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak dikenakan Pajak Penghasilan 10%”. Apapun jenis penghasilannya, siapapun yang menerimanya, dari manapun sumbernya, maka Pajak Penghasilannya adalah 10% dari penghasilannya. Siapapun bisa menghitungnya. Tak perlu ada kursus pajak, tak perlu ada mata kuliah pajak, bahkan tak perlu banyak pegawai pajak untuk mengawasinya. SPT nya pun cukup satu lembar saja. Kondisi di atas memang implementasi pajak (penghasilan) yang sangat sederhana. Tapi jelas kondisi itu tak adil. Tentu harus dibedakan siapa penerimanya. Orang miskin atau orang kaya kah dia. Tarifnya pun tidak semestinya sama antara orang berpenghasilan rendah dengan orang berpenghasilan tinggi. Penghasilan aktif dan penghasilan pasif pun seharusnya dibedakan tarifnya. Untuk lebih adil lagi tentu harus diperhitungkan adanya biaya-biaya karena mungkin saja ada orang mengeluarkan biaya yang lebih tinggi dari penghasilannya. Untuk melindungi kelas bawah pun semestinya ada batas yang tidak dikenakan pajak.
(http://www.jurnalskripsi.com dan Pengkajian)
Aspek praktik dalam perpajakan sering disebut sebagai kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan (tax compliance work), yang sebagian besar pekerjaanya, baik dilakukan sendiri maupun dibantu oleh para ahlinya setiap bulan atau tahunnya untuk mengisi Surat Pemberitahuan. Hampir sebagian wajib pajak terpaksa harus mengeluarkan biaya untuk bantuan yang diterimanya dalam rangka pengisian Surat Pemberitahuan yang benar, lengkap, dan jelas akibat dari rumit dan kompleksnya ketentuan perundang-undangan perpajakan. Apalagi dengan di berlakukannya sistem Self Assessment wajib pajak mendapat beban yang berat karena wajib pajak harus melaporkan semua informasi yang relevan dalam Surat Pemberitahuannya, menghitung dasar pengenaan pajaknya, mengkakulasi jumlah pajak yang terutang dan melunasi pajak yang terutang atau mengangsur jumlah pajak yang terutang. Wajib pajak pun harus pula dengan sungguh-sungguh memperhatikan tanggal jatuh tempo atau tanggal menjelang jatuh tempo pengisian Surat Pemberitahuan dan pembayarannya, agar tidak dianggap bersalah melakukan kelalaian memenuhi kewajiban perpajakannya. Seperti yang ditulis oleh peneliti terdahulu bahwa tingkat kepatuhan dapat di ukur dengan melihat jumlah laporan SPT yang masuk dan jumlah wajib pajak efektif.
Kemudian dilihat dari segi kepatuhan wajib pajak ternyata kepatuhan wajib pajak orang pribadi masih sangat rendah hal ini terlihat dari jumlah wajib pajak yang terdaftar. Menurut perhitungan yang dilakukan oleh Dirjen Pajak dari 200 juta wajib pajak yang terdaftar hanya ada 5 juta saja yang mendaftarkan diri ke KPP, ini membuktikan bahwa tingkat kepatuhan pada wajib pajak sangat rendah. (sumber:klikpajak.com/artikel/artikel.php.). Jika dihubungkan dengan kantor Pelayanan pajak pratama bandung cicadas, memang jumlah wajib pajak terdaftar setiap tahunnya mengalami peningkatan namun peningkatan jumlah wajib pajak ini tidak dibarengi dengan jumlah peningkatan terhadap penerimaan SPT tahunannya terutama untuk SPT orang pribadi. Jumlah penerimaan SPT tahunan Orang Pribadi pada Kantor pelayanan pajak pratama Cicadas jika dilihat dari presentasenya justru mengalami penurunan dari tahun 2002 yang semula presentase penyampaian SPT mencapai 43,7% hingga tahun 2006 turun menjadi 33,3%. Hal ini dapat membuktikan bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak masih rendah (sumber : Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cicadas). Tentunya sikap ketidakpatuhan ini dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti salah satunya karena kelalaian atau kesengajaan yang dilakukan oleh wajib pajak, yang akan berakibat pada pengenaan sanksi jika ternyata setelah dilakukan pemeriksaan benar bahwa wajib pajak tersebut telah melakukan kesalahan.
Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan maka pemungutan pajak harus adil yakni sesuai dengan tujuan hukum, yaitu mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing, sedang adil dalam pelaksanakannya yakni memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada majelis pertimbangan pajak. Supaya kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan tersebut dapat berjalan dengan sempurna, tentunya harus ada kerja sama antara fiskus sebagai pemungut pajak dan wajib pajak sebagai pembayar pajak, baik itu menyangkut sikap dan aparatur perpajakan ataupun kepercayaan wajib pajak. Semua dapat berjalan adil apabila dalam ketentuan perundang-undangan tercantum dengan tegas mengenai hak dan kewajiban, sanksi baik yang menyangkut pembayar pajak maupun aparat perpajakan serta usaha untuk menutupi sejauh mungkin lubang-lubang yang akan digunakan oleh pembayar pajak untuk melakukan penghindaran pajak dan penyelundupan pajak di satu pihak serta penyalahgunaan wewenang oleh petugas pajak di pihak lain. Soal kejujuran merupakan hal yang lebih sulit karena kejujuran bertalian erat dengan moral seseorang yang terbentuk dalam masa yang panjang. Dan moral seseorang terbentuk sepanjang hidupnya yang erat sekali dengan pendidikan, lingkungan dan kekeluargaan. Mengubah moral yang sudah rusak tidak mudah dan memerlukan kesabaran hati dan waktu yang lebih panjang. (Rochmat Soemitro,2004:5)
Untuk mencapai sasaran dan tujuan perpajakan yaitu meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam rangka memberikan pemasukan pajak yang optimal, hendaknya sistem perpajakan berlandaskan suatu asas atau norma-norma yang sudah mapan. Menurut Adam Smith: “prinsip utama dalam rangka pemungutan pajak adalah keadilan dalam perpajakan yang dinyatakan dengan suatu pernyataan bahwa setiap warga negara hendaknya berpartisipasi dalam pembiayaan pemerintah, sedapat mungkin secara proporsional sesuai dengan kemampuan masing-masing, yaitu dengan cara membandingkan penghasilan yang diperolehnya dengan perlindungan yang dinikmatinya dari negara”. Beberapa waktu yang lalu para ekonom menyusun argumentasi normatif yang jelas mengenai keadilan dalam perpajakan, antara lain apa yang dikemukakan oleh Jhon F. Due, bahwa pada hakikatnya masalah keadilan dalam perpajakan adalah masalah pertambahan nilai dan tidaklah mungkin untuk melakukan pendekatan ilmiah guna merumuskan konsep keadilan tersebut.(Mohammad Zain,2005:25)
Sistem perpajakan yang adil adalah adanya perlakuan yang sama terhadap orang atau badan yang berada dalam situasi ekonomi yang sama (misalnya mempunyai penghasilan yang sama) dan memberikan perlakuan yang berbeda-beda terhadap orang atau badan yang berada dalam keadaan ekonomi yang berbeda-beda. Keadaan pertama yaitu perlakuan yang sama terhadap penghasilan yang disebut sebagai keadilan secara horizon, sedang yang kedua yang pada dasarnya berkenaan dengan distribusi beban pajak di antara masyarakat yang mempunyai penghasilan dan kekayaan yang berbeda-beda, lebih dikenal sebagai keadilan secara vertikal. Walaupun kelihatannya sederhana, namun prinsip ini tidaklah merupakan prinsip yang mudah dilaksanakan. (Siti Kurnia Rahayu;58)
Keadilan dalam perpajakan menghendaki penerapan suatu standar yang berpengaruh kepada kebebasan atau ketentuan khusus dan tidak memihak, misalnya standar atau kinerja apa yang digunakan untuk menetapkan besarnya pajak penghasilan, apakah akan dikenakan persentase yang sama terhadap semua tingkat penghasilan atau persentasenya meningkat apabila penghasilannya bertambah tinggi. Menetapkan standar yang fundamental tersebut, hanyalah langkah awal dari keadilan dalam perpajakan, akan tetapi begitu dilaksanakannya dasar yang fundamental tersebut akan muncul pula permasalahan. Secara umum mungkin perpajakan sudah dirasa adil (diperlakukan secara sama), tetapi ada kalanya bahwa apa yang adil secara umum, belum tentu adil dalam kasus tertentu (Redbruch).
Memperbaiki prinsip keadilan dan pemerataan yang terdapat dalam sistem perpajakan yang baru dibandingkan dengan keadaan sebelumnya, diharapkan akan memperbaiki dan mengembalikan kepercayaan masyarakat pembayar pajak akan adanya keadilan dalam perpajakan akibat perbaikan sistem tersebut. Banyak faktor yang menyebabkan hilangnya kepercayaan wajib pajak diantaranya, diskriminasi pajak, pelaksanaan undang-undang yang tidak jelas, tindakan yang tidak tegas terhadap kepatuhan dan penyelundupan pajak, pengisian SPT yang tidak jelas, tidak lengkap dan tidak benar, serta penagihan yang tidak menghasilkan penerimaan atau pelunasan pajak dan lain-lainnya.
Berdasarkan hal tersebut di atas bahwa, pengaruh prinsip keadilan dalam pemungutan pajak akan mempengaruhi kepatuhan wajib pajak, maka penulis tertarik untuk memberikan judul pada penelitian ini yaitu:
“Pengaruh Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi atas Prinsip Keadilan Pemungutan Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak”.




1.2 Identifikassi dan Rumusan Masalah
1.2.1 Identifikasi Masalah
Prinsip keadilan merupakan salah satu dari prinsip utama dalam rangka pemungutan pajak, yang menjelaskan bahwa setiap warga negara berpartisipasi dalam pembiayaan fungsi pemerintah suatu negara, secara proporsional sesuai dengan kemampuan masing-masing untuk menciptakan kesadaran agar dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya secara adil, karena dalam kenyataanya kesadaran wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya secara adil belum dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak seperti yang terjadi di KPP Pratama Majalaya.
1.2.2 Perumusan Masalah
1. Bagaimana persepsi wajib pajak orang pribadi atas prinsip keadilan pemungutan pajak di KPP Pratama Majalaya .
2. Bagaimana pengaruh persepsi wajib pajak orang pribadi atas kepatuhan wajib pajak di KPP Pratama Majalaya.
3. Bagaimana pengaruh persepsi wajib pajak orang pribadi atas prinsip keadilan pemungutan pajak terhadap kepatuhan wajib pajak pada KPP Pratama Majalaya.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 Maksud Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh, mengolah dan menganalisis data mengenai pengaruh prinsip keadilan pemungutan pajak terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi.
1.3.2 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaruh persepsi wajib pajak orang pribadi atas prinsip keadilan sistem pemungutan pajak di KPP Pratama Majalaya .
2. Untuk mengetahui pengaruh persepsi wajib pajak orang pribadi atas kepatuhan wajib pajak di KPP Pratama Majalaya.
3. Untuk mengetahui besarnya pengaruh persepsi wajib pajak orang pribadi atas prinsip keadilan pemungutan pajak terhadap kepatuhan wajib pajak pada KPP Pratama Majalya.
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis sebagai berikut :

1. Bagi Pengembangan Ilmu Akuntansi
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi tentang keterkaitan antara persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi atas prinsip keadilan pemungutan pajak yang mempengaruhi kepatuhan.
2. Bagi Peneliti Lain
Hasil Penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang ingin mengkaji dalam bidang yang sama.
3. Bagi Peneliti
Penelitian ini dijadikan sebagai uji kemampuan dalam menerapkan teori-teori yang diperoleh diperkuliahan terkait dengan prinsip keadilan pemungutan pajak yang mempengaruhi kepatuhan.
1.4.2 Kegunaan Praktis
1. Bagi KPP Pratama Majalaya.
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat Dapat dipergunakan sebagai bahan masukan, bahan pertimbangan serta evaluasi dalam memenuhi prinsip keadilan pemungutan pajak.
2. Bagi Pegawai KPP Pratama Majalaya.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kepatuhan yang dilaksanakan Wajib Pajak Orang Pribadi.
1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian
1.5.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Majalaya yang berlokasi di jalan Peta No. 7 Bandung.
1.5.2 Waktu Penelitian
Adapun waktu penelitian mulai dari pengumpulan data sampai dengan
penyusunan, di mulai dari bulan Maret 2009 sampai dengan Agustus2009.


Tabel 1.1
Jadwal Penelitian
Bulan
Tahap Prosedur Maret April Mei Juni Juli agst
I Tahap Persiapan:
1. Membuat outline dan proposal skripsi
2. Mengambil formulir penyususnan skripsi
3. Menentukan tempat penelitian
II Tahapan Pelaksanaan:
1. Mengajukan outline dan proposal skripsi
2. Meminta surat pengantar keperusahaan
3. Penelitian
4. Penyusunan skripsi
III Tahap Pelaporan:
1. Menyiapkan draft skripsi
2. Sidang akhir skripsi
3. Penyempurnaan laporan skripsi
4. Penggandaan skripsi

Kamis, 03 Desember 2009

Pengaruh Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi Atas Tax Payer’s Service Quality Terhadap Pelaksanaan Self Assessment System

1.1 Latar Belakang Penelitian
Bagi Indonesia, penerimaan pajak sangat besar peranannya dalam mengamankan anggaran Negara dalam APBN setiap tahun. Penerimaan Negara yang berkesinambungan dimungkinkan dan layak dibangun adalah perolehan dari sektor pajak. Struktur penerimaan Negara dalam APBN menempatkan penerimaan sektor pajak sebagai pos penerimaan terbesar. Kondisi itu tercapai ketika harga minyak bumi yang berfluktuasi di pasar internasional dalam kurun waktu relatif panjang pada awal dekade 1980-an. Fluktuasi harga itu telah membuat struktur penerimaan Negara yang saat itu sangat mengandalkan penerimaan dari minyak bumi dan gas alam (migas) tidak bisa diandalkan lagi untuk kesinambungannya. Untuk itu, pemerintah pada tahun 1983 mengambil kebijakan dengan melakukan reposisi andalan bagi penerimaan Negara yakni dari migas menjadi pajak.
Usaha ekstensifikasi dan intensifikasi pajak untuk meningkatkan jumlah penerimaan Negara dengan tidak mengandalkan pada penerimaan dari sektor migas, kemudian dilakukan Reformasi perpajakan sebagai perubahan peraturan lama sampai keakar-akarnya, dasar falsafah dan sistem pemungutan diterapkan di Indonesia. Karena bagaimanapun, dengan mengandalkan sistem perpajakan yang sebelumnya akan menghalangi usaha peningkatan efisiensi industri dalam negeri, dimana sistem perpajakan yang ada dianggap belum efektif untuk menjangkau segala aspek perpajakan. Dan secara jelas IGGI (Inter Govermental Group of Indonesia) menyebutkan bahwa sistem perpajakan di Indonesia berada di bawah standar sistem perpajakan nasional. (Sony dan Siti, 2006:75)
Pembaharuan sistem perpajakan nasional melalui reformasi perpajakan (tax reform) diupayakan untuk mendukung reposisi penerimaan andalan dari sektor pajak agar berjalan baik. Maka untuk pertama kalinya dilakukan reformasi perpajakan pada tahun 1983, yaitu perubahan atas sistem Official Assessment System menjadi Self Assessment System. Bila dengan Official Assessment System, maka yang menghitung dan menetapkan besarnya pajak terutang yang harus dibayar oleh masyarakat adalah pihak fiskus yakni berdasarkan data dan informasi yang dimiliki. Sedangkan dengan Self Assessment System, maka diberikan kepercayaan kepada masyarakat (Wajib Pajak) untuk menghitung sendiri besar pajak yakni sesuai dengan transaksi atau kondisi yang dialami dan kemudian dibayar ke kas Negara.
Perubahan sistem pemungutan pajak tersebut memiliki tujuan penting yaitu meningkatkan jumlah penerimaan pajak sebagai penyumbang terbesar penerimaan Negara untuk tujuan pembangunan. Tujuan reformasi perpajakan menurut Sony dan Siti (2006:78) adalah meningkatkan kualitas pelayanan kepada Wajib Pajak (Tax Payer’s Service Quality) sebagai sumber aliran dana untuk mengisi kas Negara, menekankan terjadinya penyelundupan pajak (tax evasion) oleh Wajib Pajak, meningkatkan kepatuhan bagi Wajib Pajak dalam penyelenggaraan kewajiban perpajakannya, menerapkan konsep good governance, adanya transparansi, responsibility, keadilan, dan akuntabilitas dalam meningkatkan kinerja instansi pajak sekaligus publikasi jelasnya pos penggunaan pengeluaran dana pajak, dan meningkatkan penegakan hukum pajak, pengawasan yang tinggi dalam pelaksanaan administrasi pajak, baik kepada fiskus maupun kepada Wajib Pajak.
Berikut ini adalah perkembangan rencana dan realisasi Penerimaan Pajak selama reformasi perpajakan dengan manganut sistem Self Assessment di Indonesia untuk periode 1996 – 2005 sebagai berikut :
Tabel 1.1
Perkembangan Rencana dan Realisasi
Penerimaan Pajak di Indonesia Periode 1996 – 2005 (dalam milyar Rp)
Tahun Rencana Realisasi % rencana / realisasi
1996 50.146.9 48.686,3 103 %
1997 64.220,7 57.339,9 112 %
1998 75.899,6 70.934,2 107 %
1999 108.538,1 102.394,4 106 %
2000 120.549,0 115.912,5 104 %
2001 185.540,9 185.540,9 100 %
2002 210.087,5 210.087,5 100 %
2003 256,571,1 242.048,2 106 %
2004 292.133,5 280.897,6 104 %
2005 371.897,5 347.567,8 107%
Sumber: Direktorat Jendral Pajak 2006

Berdasarkan tabel 1.1, dapat terlihat bahwa peningkatan dalam rencana penerimaan pajak terjadi cukup besar, tetapi belum dapat dikatakan bahwa penerimaan pajak tersebut optimal. Hal ini dapat terlihat dari perbandingan perhitungan potensi pajak (realisasi) berdasarkan aktivitas ekonomi sebenarnya (potensi pajak teoritis) yang menunjukan angka yang lebih kecil, sehingga pada prosentase perkembangan rencana dan realisasi terjadi fluktuasi peningkatan prosentase, ini menunjukan bahwa semakin besar tingkat prosentase maka semakin besar pula penerimaan pajak yang belum terealisasi. Berdasarkan laporan audit kinerja Direktorat Jenderal Pajak tahun 2006 disebutkan bahwa hasil perhitungan potensi pajak teoritis dikaitkan dengan realisasi penerimaan pajak menunjukkan tingkat realisasi yang masih rendah dengan tingkat perbedaan (gap) yang cukup besar . Rata-rata Tax Coverage Ratio di Indonesia selama 10 tahun sebesar 65%, berarti masih ada 35% pajak yang belum tergali, walaupun setiap tahun potensi yang tergali tersebut semakin menunjukkan peningkatan. Berikut ini adalah Perkembangan Tax Covearage Ratio di Indonesia Periode 1996 – 2005 sebagai berikut :

Tabel 1.2
Perkembangan Tax Covearage Ratio
di Indonesia Periode 1996 – 2005 (dalam milliar)
Tahun Realisasi Potensi pajak Coverage ratio (%)
1996 48.686,3 83.357,5 58,4
1997 57.339,9 98.757,5 58,1
1998 70.934,2 117.684,2 60,3
1999 102.394,4 173.950,2 58,7
2000 115.912,5 234.155,8 49,5
2001 185.540,9 277.255,8 66.8
2002 210.087,4 276.067,6 76.1
2003 242.048,2 316.817,0 76.4
2004 280.897,6 373.534,0 75.2
2005 347.567,8 493.004,0 70.5
Sumber: Direktorat Jendral Pajak 2006

Berdasarkan tabel 1.2, dapat diketahui bahwa meningkatnya penerimaan pajak seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, belum dapat menjadi indikator bahwa penerapan Self Assessment System telah sukses dan menjadi sistem pemungutan pajak terbaik yang dapat dilaksanakan di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari potensi pajak walaupun setiap tahunnya mengalami peningkatan, namun dalam realisasinya tercapai lebih kecil dari yang seharusnya, artinya terjadi gap yang cukup besar antara potensi pajak dengan realisasinya, walaupun prosentase perkembangan Tax Coverage Ratio yang setiap tahunnya mengalami peningkatan,namun tetap saja masih ada pajak- pajak yang belum tergali.
Hal ini dapat diketahui dari Penyampaian SPT baik masa maupun tahunan yang masih rendah. Kondisi penyampaian SPT dalam 10 tahun terahir, dalam mengembalikan atau melaporkan SPT di Indonesia menunjukkan bahwa perbandingan antara SPT yang dikirim dengan SPT yang masuk rata-rata kurang dari 50% . berkisar antara 35% sampai dengan 45%, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1.3 dibawah ini :
Tabel 1.3
Kepatuhan Wajib Pajak Dalam
Mengembalikan SPT di Indonesia Periode 1996 - 2005
Tahun SPT dikirim SPT Masuk % SPT masuk / SPT Dikirim
1996 1,650,722 737,897 44.70
1997 1,762,522 731,850 41.52
1998 1,841,297 695,016 37.75
1999 1,949,322 690,012 35.40
2000 1.988.669 701.394 35,27
2001 2.270.870 815.985 35,93
2002 2.583.960 1.068.467 41,35
2003 2.582.550 1.141.516 44,20
2004 2.608.362 1.212.729 44,23
2005 2.712.205 1.235.409 45,54
Sumber: Direktorat Jenderal Pajak 2006

Fenomena diatas dapat memberikan gambaran bahwa pelaksanaan Self Assessment System oleh Wajib Pajak belum dilakukan sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan oleh Undang-undang perpajakan. Jika Wajib Pajak melaksanakan Self Assessment System dengan baik tentunya penerimaan negara dari sektor pajak akan lebih optimal.
Pembaharuan sistem dilakukan terus menerus, dengan telah dilakukannya beberapa kali reformasi dimulai tahun 1983, kemudian tahun 1994, selanjutnya pada tahun 2000, dan kini ditahun 2007 dan 2008 telah ditetapkan peraturan perundang-undangan perpajakan terbaru mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) serta Pajak Penghasilan (PPh). Pembaharuan dari sudut peraturan perpajakan tidak saja memberi jaminan pada pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan baik untuk wajib pajak maupun fiskus, tetapi juga memberi kesempatan dan peluang untuk menyempurnakan sistem administrasi perpajakan yang menjadi pendukung utama pelaksanaan pemungutan pajak.
Penyempurnaan sistem administrasi perpajakan tersebut juga termasuk didalamnya melakukan pembenahan kinerja kantor pajak maupun aparatur (Sumber Daya Manusia) perpajakan. Hal ini mencakup peningkatan kemampuan dan keterampilan aparatur pajak dalam rangka memahami, menguasai dan melaksanakan peraturan perpajakan yang baru. Bagi instansi pajak juga menekankan pada peningkatan pelayanan kepada Wajib pajak, agar dapat mendorong kepatuhan Wajib pajak, karena sebagian besar pekerjaan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan itu dilakukan oleh Wajib Pajak, sehingga kepatuhan diperlukan dalam Self Assessment System, dengan tujuan pada penerimaan pajak yang optimal.
Berdasarkan penelitian Siti Kurnia Rahayu (2008:113), kualitas pelayanan kepada Wajib Pajak memberikan pengaruh terhadap tindakan penyelundupan pajak. Penyelundupan pajak merupakan usaha aktif Wajib pajak dalam memanipulasi utang pajak, hal ini dapat terjadi karena iklim perpajakan di Indonesia mengandalkan Self Assessment System. Dengan harapan pelayanan yang diberikan kepada Wajib Pajak mampu memenuhi harapan dan kebutuhan Wajib Pajak maka akan semakin baik tingkat pelaksanaan Self Assessment System Wajib pajak.
Pelayanan pajak adalah termasuk pelayanan publik karena dilaksanakan oleh instansi pemerintah, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan undang-undang, dan tidak berorientasi pada laba. Salah satu langkah penting yang dilakukan DJP sebagai wujud nyata kepedulian pada pentingnya kualitas pelayanan adalah memberikan pelayanan prima kepada Wajib Pajak dalam mengoptimalkan penerimaan Negara. Untuk itu pada awal tahun 2003 dibentuk Tim modernisasi Administrasi Perpajakan jangka menengah yang menyusun administrasi perpajakan modern dengan sasarannya yaitu tercapainya tingkat kepatuhan sukarela Wajib pajak yang tinggi, tercapainya tingkat kepercayaan terhadap administrasi perpajakan yang tinggi, serta tercapainya produktivitas aparat perpajakan yang tinggi pula.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”Pengaruh Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi Atas Tax Payer’s Service Quality Terhadap Pelaksanaan Self Assessment System (Studi Kasus Pada Wajib Pajak Orang Pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Majalaya)”.

Rabu, 02 Desember 2009

Peranan Standar Akuntansi Murabahah dalam Transaksi Murabahah Pada bank Syariah

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Dalam perkembangan dunia usaha yang pesat dan semakin kompetitif pada era globalisasi seperti sekarang ini, telah menuntut setiap perusahaan dan lembaga keuangan untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja usahanya agar dapat tetap bertahan dalam menjalankan kegiatan usahanya. Di sisi lain, dengan adanya perkembangan dunia usaha yang pesat, maka pertumbuhan ekonomi meningkat. Namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa diikuti dengan distribusi yang merata, akan menyebabkan ketimpangan sosial. Sebaliknya, pemerataan tanpa pertumbuhan juga tidak tepat, karena akan menghambat dinamika ekonomi dan menyebabkan kemiskinan.
Untuk menciptakan keselarasan antara pertumbuhan dan pemerataan, diperlukan lembaga yang dapat mengendalikan dan mengatur dinamika ekonomi dalam perputaran uang dan barang, fungsi tersebut saat ini dikenal dengan nama bank. Dalam lembaga keuangan, khususnya lembaga perbankan yang merupakan salah satu lembaga keuangan paling strategis sangat penting bagi pendorong kemajuan perekonomian nasional, serta lembaga yang berkewajiban turut serta memperlancar arus kegiatan di bidang ekonomi dan moneter. Bank dalam bentuk dasarnya banyak membawa manfaat, karena saat itu bertemu para pemilik, pengguna, dan pengelola modal. Dari sana terjadi proses perputaran uang dan kekayaan dari pihak yang kelebihan dana kepada pihak yang memerlukan dana.
Hingga saat ini kehidupan perekonomian dunia tidak dapat dipisahkan dari dunia perbankan. Dikaitkan dengan masalah pendanaan, hampir semua aktivitas usaha memanfaatkan jasa dari perbankan sebagai lembaga keuangan yang menjamin berjalannya aktivitas usaha. Selain itu juga bank merupakan lembaga yang memenuhi kebutuhan usaha dalam hal penyediaan dana atau modal dalam bentuk pinjaman.
Menurut jenisnya, lembaga keuangan bank (perbankan) terdiri dari:
1. Bank umum
2. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Di Indonesia lembaga keuangan bank (perbankan) menurut prinsipnya dapat dibedakan menjadi dua yaitu; lembaga keuangan konvensional dan lembaga keuangan yang berprinsipkan syariah.
Undang-undang No 10 tahun 1998 yang merubah UU No 7 tahun 1992 tentang perbankan nampak lebih jelas dan tegas mengenai status perbankan syariah, sebagaimana disebutkan dalam pasal 13, usaha Bank Perkreditan Rakyat. Pasal 13 huruf C berbunyi sebagai berikut, menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang diterapkan oleh Bank Indonesia. Keberadaan Bank Perkreditan Syariah (BPRS) secara khusus dijabarkan dalam bentuk Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No 32/34/kep/Dir, tanggal 12 mei 1999 tentang bank umum berdasarkan prisip syariah dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No 32/36/kep/Dir, tertanggal 12 mei 1999 dan surat edaran Bank Indonesia No 32/4/KPPB tanggal 12 mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah.
Keuntungan utama dari bisnis perbankan yang berprinsip konvensional diperoleh dari selisih bunga simpanan yang dibebankan kepada penyimpan dengan bunga pinjaman atau kredit yang disalurkan. Keuntungan dari selisih bunga ini dikenal dengan spread based sedangkan kerugian dari selisih bunga dimana suku bunga simpanan lebih besar daripada suku bunga kredit maka disebut negative spread.
Pada perbankan syariah tidak mengenal adanya sistem suku bunga, sesuai dengan fatwa MUI yang menilai bunga termasuk dalam riba. Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman “Hai orang-orang yang beiman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (Al Baqarah 278).
Diakui atau tidak deregulasi BPR syariah financial di Indonesia semakin berkembang. Pada tahun 1992 pemerintah mengeluarkan undang-undang perbankan no 7 tahun 1992 tentang bank bagi hasil, dan pada tahun 1998 UU no 7 tahun 1992 ini mengalami revisi menjadi UU no 10 1998, sehingga memiliki hikmah bagi dunia perbankan dimana pemerintah membuka lebar kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Setiap lembaga keuangan bank ataupun non bank dalam menjalankan kegiatan usahanya akan melakukan suatu transaksi keuangan. Transaksi keuangan sangat diperlukan dalam bank syariah untuk mengungkapan laporan atau informasi kepada pihak yang memerlukan baik dari pihak bank maupun nasabah. Bank syariah yang berdasarkan pada prinsip-prinsip Islam begitu menekankan masalah pencatatan transaksi ini sebagaimana dalam al-qur’an yang menjadi pegangan orang muslim, Allah SWT berfirman ”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis menuliskanya dengan benar… “(Al-Baqarah 282). Bermualah disini maksudnya adalah melekukan suatu transaksi, ini menunjukan bahwa Islam sangat memperhatikan masalah transaksi ini agar tidak ada pihak yang dirugikan karena adanya pembukuan dalam pelaporan keuangan.
Transaksi keuangan pada BPR syariah cukup beragam, diantaranya transaksi mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, dan isthisna. Diantara transaksi itu transaksi murabahah merupakan transaksi yang paling banyak diminati, ini dapat terlihat dari data statistik Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia pada tahun 2007 yang mencapai 14,7 triliun atau sekitar 59,94%.
Untuk membukukan transaksi murabahah maka diperlukan suatu pedoman atau landasan, akuntansi memiliki buku pedoman yang disebut PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan), untuk itu BI yang dibantu sepenuhnya oleh IAI menerbitkan PSAK 59 tentang perbankan syariah. Pada tanggal 1 Mei 2002 secara resmi dewan standar akuntansi keuangan telah mengeluarkan PSAK no 59 yang terdiri dari: (1) Kerangka dasar penyusunan dan penyajian laporan keuangan bank syari’ah (2) Peryataan standar Akuntansi keuangan (PSAK ) akuntansi keuangan syari’ah. Standar ini banyak mengadopsi kerangka dan standar yang dikeluarkan oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) yang berpusat di Manama Bahrain.
Pada akhir tahun 2007 untuk transaksi murabahah bank syariah memiliki suatu pedoman yang tercantum dalam PSAK No 102. Namun dalam penerbitan PSAK tersebut masih terdapat beberapa masalah dalam penerapannya pada bank syariah. Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) Gunawan Yasni (2007), berpendapat terdapat satu permasalahan dalam menerapkan SAK Murabahah (Jual beli) Nomor 102. SAK tersebut menurutnya berpotensi menyebabkan berlakunya pajak ganda dalam transaksi pembiayaan murabahah perbankan syariah, karena SAK mewajibkan pencatatan aliran persediaan masuk dan keluar dalam pembukuan bank syariah. Dalam hal ini bank syariah dapat dianggap sebagai perusahaan perdagangan dan bukan bank sehingga pajak berganda berlaku.
PSAK merupakan pedoman dalam setiap pencatatan laporan keuangan, baik lembaga keuangan bank maupun non bank. Desita dan Dini (2008) mengemukakan jika Standar Akuntansi Keuangan Syariah diterapkan dengan baik maka pengelolaan transaksi keuangan yang berbasis syariah pada bank syariah akan tercapai. Kania (2008), juga berpendapat sama dengan penelitian sebelumnya bahwa Standar Akuntnsi Keuangan Syariah berperan dalam transaksi keuangan. Kedua penelitian tersebut masih beranjak pada PSAK No. 59 tentang standar akuntansi keuangan syariah, pada penelitian ini peneliti lebih menitik beratkan pada PSAK No 102 tentang standar akuntansi keuangan murabahah.
Bank Perkreditan Rakyat Syariah Amanah Rabbaniah merupakan salah satu lembaga keuangan yang berprinsipkan syariah, dimana dalam setiap pencatatan laporan keuangan harus mengacu pada PSAK tentang akuntansi syariah. Untuk transaksi murabahah BPR Syariah Amanah Rabbaniah mengacu pada PSAK No 102.
Namun pada prakteknya masih terdapat kejanggalan yang terjadi dalam transaksi murabahah. Ini dapat terlihat dari pelaksanaan transaksi murabahah masih banyak yang tidak sesuai dengan yang seharusnya terjadi. Penyimpangan ini dapat berupa selipan wakalah pada transaksi murabahah. Prinsip ini terjadi ketika proses perwakilan antara pihak bank syariah dan nasabah. Pada proses ini pihak bank mewakilkan pihak nasabah untuk melakukuan pembelian barang sendiri yang diinginkan kepada pihak supplier setelah mendapatkan uang dari pihak bank. Sedangkan dalam ketentuan mengharuskan pihak bank membeli terlebih dahulu barang yang diperlukan nasabah atas nama bank itu sendiri. Praktik murabahah ini menyerupai transaksi kredit yang dilakukan bank konvensional.
Selain itu juga proses pencatatan transaksi murabahah yang memakai prinsip akrual tidak sesuai dengan prinsip syariah dimana ada pangakuan keuntungan pada saat terjadi suatu transaksi, padahal uang atau kas belum diterima oleh pihak bank. Ini bisa berdampak negatif pada saat pengakuan keuntungan dan pembagian keuntungan pada nasabah dimana jumlah keuntungan tidak sesuai dengan kas yang diperoleh oleh pihak bank. Dimana pembagian keuntungan pada bank syariah dilihat dari jumlah pendapatan bank bukan dari kas yang diterima.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengambil judul mengenai: “Peranan Standar Akuntansi Keuangan Murabahah dalam Transaksi Keuangan pada BPR Syariah (Studi Kasus pada PT BPR Syariah Amanah Rabbaniah Banjaran kab Bandung)”.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, maka dapat dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana standar akuntansi keuangan murabahah pada BPR Syariah Amanah Rabbaniah Banjaran Kab Bandung.
2. Bagaimana transaksi murabahah pada BPR Syariah Amanah Rabbaniah Banjaran Kab Bandung.
3. Bagaimana peranan standar akuntansi keuangan murabahah dalam transaksi murabahah BPR Syariah Amanah Rabbaniah Banjaran Kab Bandung.

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1. Maksud Penelitian
Penelitian ini bermaksud untuk mengumpulkan data dan berbagai informasi terkait dengan komite audit dan pengendalian internal perusahaan.
1.3.2. Tujuan Penelitian
2. Untuk mengetahui standar akuntansi keuangan murabahah pada BPR Syariah Amanah Rabbaniah Banjaran Kab Bandung
3. Untuk mengetahui transaksi murabahah pada PT BPR Syariah Amanah Rabbaniah Banjaran Kab Bandung
4. Untuk mengetahui peranan standar akuntansi keuangan murabahah dalam transaksi murabahah pada BPR Syariah Amanah Rabbaniah Banjaran Kab Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.41 Kegunaan Akademis
1. Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Memberikan referenasi tentang keterkaitan antara Standar Akuntansi Keuangan Murabahah dengan transaksi keuangan pada perbankan syariah.
2. Bagi Peneliti Lain
penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi dan tambahan informasi khususnya untuk pengkajian topik-topik yang berkaitan dengan penelitian yang dibahas.


3. Bagi Penulis
Peneliti dapat menambah pengetahuan khususnya tentang peranan standar akuntansi keuangan murabahah dalam transaksi murabahah.

1.4.2 Kegunaan Praktis
1. Bagi Perusahaan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan khususnya sebagai bahan pertimbangan bagi pihak perusahaan dalam mencatat transaksi murabahah.
2. Bagi Nasabah
Penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam bermitra dengan BPR syariah baik dalam produk dana maupun dalam hal pembiayaan.

Pengaruh Asimetri Informasi Terhadap Prakti Manajemen Laba

I. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dalam perkembangan dunia usaha yang pesat dan semakin kompetitif pada era globalisasi seperti sekarang ini, telah menuntut setiap perusahaan dan lembaga keuangan untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja usahanya agar dapat tetap bertahan dalam menjalankan kegiatan usahanya. Di sisi lain, dengan adanya perkembangan dunia usaha yang pesat, maka pertumbuhan ekonomi meningkat. Namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa diikuti dengan distribusi yang merata, akan menyebabkan ketimpangan sosial. Sebaliknya, pemerataan tanpa pertumbuhan juga tidak tepat, karena akan menghambat dinamika ekonomi dan menyebabkan kemiskinan. Faktor modal menjadi salah satu hal yang mengakibatkan sulitnya suatu perusahaan menjalankan kegiatan usahanya, untuk itu diperlukannya suatu wadah untuk mempertemukan antara pihak yang kelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana. Salah satu wadah tersebut adalah pasar modal.
Pasar modal adalah pasar yang memfasilitasi pertemuan antara pihak-pihak yang kelebihan dana dan yang kekurangan dana jangka panjang. Pasar modal memiliki 2 (dua) fungsi, yaitu fungsi ekonomi dan fungsi keuangan. Fungsi ekonomi yaitu berfungsi mempertemukan antara pihak yang kelebihan modal dengan pihak yang kekurangan modal, sedangkan fungsi keuangan yaitu mendapatkan keuntungan bagi yang kelebihan dana berupa deviden. Salah satu jenis investasi yang diperdagangkan dipasar modal adalah saham. Saham merupakan surat tanda bukti keikutsertaan dalam permodalan perusahaan dan mempunyai hak atas sebagian kekayaan perusahaan. Pasar modal merupakan wadah bagi terjadinya mekanisme transaksi perdagangan saham yang fair. Namun transaksi saham yang fair sulit tercapai karena adanya konflik kepentingan dan tidak transparannya laporan keuangan emiten.
Laporan keuangan merupakan hasil dari proses akuntansi yang bertujuan untuk menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan (Ikatan Akuntan Indonesia, 2002). Pemakai informasi laporan keuangan diantaranya meliputi: investor, karyawan, pemberi pinjaman, dan pemasok. Investor berkepentingan dengan laporan keuangan dalam kaitannya dengan resiko yang melekat serta hasil pengembangan dari investasi yang mereka lakukan. Karyawan menggunakan laporan keuangan dalam kaitannya dengan informasi mengenai stabilitas dan profitabilitas perusahaan sehingga dapat diketahui seberapa besar kemampuan perusahaan dalam memberikan balas jasa, manfaat pensiun dan kesempatan kerja. Pemberi pinjaman dan pemasok berkepentingan dalam kaitannya dengan informasi tentang kemampuan perusahaan dalam membayarkan pinjaman serta bunganya pada waktu yang telah ditetapkan.
Laporan keuangan disampaikan dalam bentuk neraca, laporan kinerja disampaikan dalam bentuk laporan laba rugi, dan laporan perubahan posisi keuangan disampaikan dalam bentuk laporan perubahan ekuitas. Dari ketiga laporan ini, ditambah lagi laporan mengenai arus kas dari aktivitas operasi, investasi dan pendanaan dalam bentuk laporan arus kas, dan laporan informasi kualitatif perusahaan berupa catatan atas laporan keuangan. Dari ke lima bentuk laporan keuangan di atas, laporan mengenai laba rugi adalah laporan yang paling banyak diminati karena laporan laba rugi menyediakan informasi peningkatan atau penurunan kinerja keuangan suatu perusahaan. Secara definitif, laporan laba rugi adalah laporan utama untuk melaporkan kinerja dari suatu perusahaan selama suatu periode tertentu terutama tentang profitabilitas yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan tentang sumber ekonomi yang akan dikelola oleh suatu perusahaan di masa yang akan datang (Ikatan Akuntan Indonesia, 2002). Di samping itu, selain menginformasikan mengenai laporan kinerja, yang terpenting dari laporan laba rugi adalah laporan tentang laba.
Earnings atau laba merupakan komponen keuangan yang menjadi pusat perhatian sekaligus dasar pengambilan keputusan bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam penyusunan laporan keuangan, dasar akrual dipilih karena lebih rasional dan adil dalam mencerminkan kondisi keuangan perusahaan secara riil, namun di sisi lain penggunaan dasar akrual dapat memberikan keleluasaan kepada pihak manajemen dalam memilih metode akuntansi selama tidak menyimpang dari aturan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku. Pilihan metode akuntansi yang secara sengaja dipilih oleh manajemen untuk tujuan tertentu dikenal dengan sebutan manajemen laba atau Earnings management.
Sampai saat ini manajemen laba merupakan area yang paling kontroversial dalam akuntansi keuangan. Pihak yang kontra terhadap manajemen laba seperti investor, berpendapat bahwa manajemen laba merupakan pengurangan keandalan informasi laporan keuangan sehingga dapat menyesatkan dalam pengambilan keputusan. Di sisi lain pihak yang pro terhadap manajemen laba seperti manajer, menganggap bahwa manajemen laba merupakan hal yang fleksibel untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian yang tidak terduga.
Banyaknya kasus mengenai manajemen laba yang terjadi baik di Indonesia maupun diluar negeri seperti kasus Kimia Farma Tbk dan PT Lippo Tbk kemudian kasus Enron, Wordcom, dan Xerox dimana mereka mengakui telah melakukan penggelembungan laba yang pada akhirnya membuat para investor melepaskan saham yang mereka miliki yang berakibat pada anjloknya harga saham perusahaan. Disini investor tidak banyak mengetahui tentang keadaan perusahaan yang membuat mereka dirugikan dengan informasi yang tidak relevan. Hal ini memberikan gambaran bahwa praktik manajemen laba sering terjadi diperusahaan guna menggambarkan kinerja perusahaan yang baik dengan menggunakan berbagai kesempatan yang ada. (Ludovicus Sensi W, 2007: 72)
Manajemen laba merupakan tindakan yang sering dilakukan oleh manajemen dengan motivasi untuk mencapai kepentingan sendiri, dengan kadar mulai dari sopan hingga yang termasuk ke dalam fraud. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi manajemen laba. Watt dan Zimmerman sebagaimana dikutip dalam Rahmawati et al. (2006) membagi motivasi manajemen laba menjadi tiga, yaitu bonus plan hypothesis, debt to equity hypothesis, dan political cost hypothesis. Hipotesis bonus plan menyatakan bahwa manajer pada perusahaan dengan bonus plan cenderung untuk menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatkan income saat ini. Debt to equity hypothesis menyebutkan bahwa pada perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity besar maka manajer perusahaan tersebut cenderung menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatkan pendapatan maupun laba. Adapun political cost hypothesis menyatakan bahwa perusahaan yang besar, yang kegiatan operasinya menyentuh sebagian besar masyarakat akan cenderung untuk mengurangi laba yang dilaporkan.
Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik dan investor. Oleh karena itu sebagai pengelola, manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan baik kepada pemilik maupun investor. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Akan tetapi informasi yang disampaikan terkadang diterima tidak sesuai dengan kondisi perusahaan sebenarnya. Kondisi ini dikenal sebagai informasi yang tidak simetris atau asimetri informasi (information asymetric).
Asimetri informasi merupakan ketidakseimbangan informasi, hal ini muncul ketika manajer lebih mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemegang saham dan stakeholder lainnya. Adanya asimetri informasi akan mendorong manajer untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja manajer. Eisenhardt dalam Arief Ujiyantho (2007) mengemukakan tiga asumsi sifat dasar manusia yaitu: (1) manusia pada umunya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk adverse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut menyebabkan bahwa informasi yang dihasilkan manusia untuk manusia lain selalu dipertanyakan reliabilitasnya dan dapat dipercaya tidaknya informasi yang disampaikan. Fleksibelitas manajemen dalam manajemen laba dapat dikurangi dengan menyediakan informasi yang lebih berkualitas bagi pihak luar. Kualitas laporan keuangan akan mencerminkan tingkat manajemen laba.
Beberapa peneliti terdahulu seperti Rahmawati dkk. (2006) telah menemukan bahwa asimetri informasi berpengaruh secara positif signifikan terhadap manajemen laba. Julia Halim, Carmel Meiden dan Rudolf Lumban tobing (2005) dengan judul penelitian “Pengaruh manajemen laba pada tingkat pengungkapan laporan keuangan pada perusahaan manufaktur yang termasuk dalam indeks LQ-45”, dengan menggunakan sampel 34 perusahaan, dari 2001 sampai 2002. Hasil penelitiannya bahwa perusahaan manufaktur yang termasuk Indeks LQ-45 terlihat melakukan tindakan manajemen laba. Asimetri informasi, kinerja masa kini dan masa depan, faktor leverage, ukuran perusahaan berpengaruh signifikan pada manajemen laba.
PT Bumi Resources Tbk dalam setiap menjalankan usahanya tentu saja memiliki tujuan yang mendasar yaitu mendapatkan keuntungan atau laba. Laba merupakan selisih antara pendapatan yang diperoleh suatu perusahaan pada suatu periode dengan beban-beban yang terjadi selama periode tersebut. Di era persaingan perekonomian yang semakin kompetitip ini, setiap perusahaan akan berusaha sekeras mungkin untuk memperoleh laba yang optimal demi terjaminnya kelangsungan perusahaan. Oleh sebab itu, manajemen perusahaan akan berusaha dan dituntut untuk lebih berupaya melaksanakan seluruh aktivitas perusahaan dengan se-efektif dan se-efisien mungkin agar tujuan perusahaan yang telah ditetapkan dapat tercapai dan dapat menarik minat investor untuk menanamkan modalnya.
Manajemen PT Bumi Resource Tbk sebagai pengelola perusahaan juga dalam melakukan kebijakan-kebijakan akuntansinya berusaha untuk memajukan perusahaan dalam pencapaian laba yang tentunya semakin tahun akan semakin bertambah sehingga baik kinerja manajemen atau perusahaan dapat dinilai baik. Laporan keuangan PT Bumi Resources Tbk selama lima tahun ini dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 1.1
Earning After Tax and Closing Price PT Bumi Resources Tbk.
Tahun 2003-2007 (Dalam jutaan rupiah)
Tahun Laba Bersih
(Earning After Tax) Harga Saham (Closing Price) Harga Saham Tertinggi Harga Saham Terendah
2003 107565 500 525 185
2004 1079520 800 825 725
2005 1222099 760 800 670
2006 2006299 890 900 790
2007 7431627 6000 6350 5500
Sumber : Data Laporan Keuangan PT Bumi Resources Tb
Dari data laporan keuangan PT Bumi Resources Tbk. di atas kita dapat melihat bahwa laba perusahaan terjadi kenaikan dari setiap tahunnya yang memberikan indikasi bahwa kinerja perusahaan baik, akan tetapi terjadi ketidak seimbangan antara laba yang di dapat dibandingkan dengan harga saham yang ada. Dimana seharusnya laba yang tinggi dapat menaikkan harga saham begitupun sebaliknya saat laba perusahaan yang turun maka harga saham pun biasanya ikut turun. Ini terjadi pada tahun 2004 ke tahun 2005 dimana laba yang diperoleh dari 1.079.520 naik menjadi 1.222.099 tetapi harga saham malah turun dari 800 ke 760.
Adanya ketidakseimbangan tersebut memberikan asumsi bahwa telah terjadi praktik manajemen laba yang dilakukan manjemen dengan menggunakan pola Income Maximization untuk kepentingan diri sendiri maupun perusahaan dengan menggunakan asimetri informasi yang ada dengan melihat harga saham tertinggi dan harga terendahnya. Informasi yang lebih banyak yang dimiliki oleh manajer dibandingkan pihak lain menjadi pendorong dalam melakukan praktik manajemen laba.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengambil judul mengenai: “Pengaruh Asimetri Informasi terhadap Praktik Manajemen Laba (Studi Kasus pada PT Bumi Resources Tbk)”.
1.2 Identifikasi dan Rumusan Masalah
1.2.1 Identifikasi Masalah
Laba perusahaan yang setiap tahun meningkat yang tidak di-imbangi dengan harga saham yang meningkat pula memberikan gambaran bahwa masih terdapat asimetri informasi dalam perusahaan antara manajemen dengan investor. Adanya asimetri ini memberikan indikasi untuk manajemen melakukan praktik manajemen laba dalam pencapaian kinerjanya maupun dalam menarik investor untuk menanamkan modalnya.
1.2.2 Rumusan Masalah
Dalam usulan penelitian ini penulis merumuskan beberapa masalah yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana tingkat asimetri informasi pada PT Bumi Resources Tbk.
2. Bagaimana tingkat praktik manajemen laba pada PT Bumi Resources Tbk.
3. Seberapa besar pengaruh asimetri informasi terhadap praktik manajemen laba pada PT Bumi Resources Tbk.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 Maksud Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data dan informasi, kemudian menganalisa data dan informasi yang berhubungan dengan pengaruh asimetri informasi terhadap praktik manajemen laba pada PT Bumi Resources Tbk.
1.3.2 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui tingkat asimetri informasi pada PT Bumi Resources Tbk.
2. Untuk mengetahui tingkat praktik manajemen laba pada PT Bumi Resources Tbk.
3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh asimetri informasi terhadap praktik manajemen laba pada PT Bumi Resources Tbk.
1.4 Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.4.1 Kegunaan Akademis
• Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Memberikan referenasi tentang keterkaitan antar asimetri informasi dengan praktik manajemen laba.
• Bagi Peneliti Lain
Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi dan tambahan informasi khususnya untuk pengkajian topik-topik yang berkaitan dengan penelitian yang dibahas.
• Bagi Peneliti
Dengan melakukan penelitian ini, penulis dapat memperoleh pengetahuan dan gambaran yang dapat dijadikan pembanding antara teori yang selama ini peneliti dapatkan dengan pelaksanaan yang sebenarnya di lapangan yaitu tentang asimetri informasi dan manajemen laba.
1.4.2 Kegunaan Praktis
• Bagi Perusahaan
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu informasi bagi perusahaan dalam mengambil langkah-langkah kebijakan yang akan dilakukan manajemen.
• Bagi Investor
Memberikan informasi mengenai adanya asimetri informasi yang dapat mendorong manajemen melakukan manajemen laba sehingga dapat merugikan pihak-pihak eksternal.
2.1.1. Asimetri Informasi
Dalam perdagangan saham di bursa efek, informasi memiliki peranan penting dalam membantu investor menentukan pilihan yang tepat dalam berinvestasi. Namun seringkali terjadi Asimetri Informasi yang dialami investor, hal ini tentu saja akan menimbulkan kerugian terutama investor yang kekurangan informasi. Menurut Scott (2000:105) menyatakan bahwa :
“Asimetri Informasi (information asymmetry) merupakan sebuah konsep yang paling penting dalam teori akuntansi keuangan (financial accounting theory)."
Sedangkan menurut Beaver yang terdapat dalam jurnal Puput Tri Komalasari (2001) menyatakan bahwa :
“Asimetri informasi adalah istilah untuk menggambarkan adanya dua kondisi investor dalam perdagangan saham yaitu investor yang more informed dan investor yang less informed.”
Dari teori yang diungkapkan diatas dapat disimpulkan bahwa asimetri informasi merupakan sebuah konsep yang paling penting dalam teori akuntansi keuangan. Karena hal ini berhubungan dengan keputusan investasi yang dilakukan oleh investor, karena dengan adanya asimetri informasi mengakibatkan investor memiliki informasi yang berbeda. Contohnya saat salah satu investor memiliki informasi yang lebih sedikit maka dia kekurangan informasi sehingga mempengaruhi keputusan investasi yang akan diambilnya dan sebaliknya saat dia memiliki informasi yang lebih banyak dia bisa memutuskan investasi yang menguntungkan baginya. Oleh karena itu adanya perbedaan informasi yang diperoleh dapat merugikan investor.
Pengukuran terhadap asimetri informasi dapat menggunakan pendekatan Bid-ask spread karena pada penelitian-penelitian terdahulu tingkat asimetri ini bisa terlihat dari selisih harga saham tertinggi dan terendahnya. Menurut Amira (2006:37) :
“Agar pasar saham dapat beroperasi dengan efektif pasar harus liquid, artinya saham dapat dijual seketika pada biaya transaksi yang serendah-rendahnya. Dalam pasar yang liquid, harga bid (bid price) yaitu harga dimana pialang bersedia membayar atau membeli, sebaliknya hanya sedikit lebih rendah daripada harga ask (ask spread) yaitu harga dimana pialang bersedia
Bid-ask spread digunakan untuk mengetahui besarnya asimetri informasi yang terjadi karena asimetri infromasi berhubungan dengan penawaran dan pembelian saham yang terjadi pasar modal yang digambarkan melalui harga beli (bid price) dan harga jual (ask price).
2.1.1.2 Manajemen Laba
Pengertian Manajemen Laba Menurut Copeland dalam Wiwik (2005), adalah:
“some ability to increase of decrease reported net income at will”.
Ini berarti bahwa manajemen laba mencangkup usaha manajemen untuk memaksimalkan, meminumkan laba, termasuk perataan laba sesuai dengan keinginan manajemen.
Definisi manajemen laba yang hampir sama juga diungkapkan oleh Schiper dalam Sutrisno (2002) yang menyatakan bahwa manajemen laba merupakan suatu invertensi dengan tujuan tertentu dalam proses pelaporan keuangan eksternal, untuk memperoleh beberapa keuntungan privat (sebagai lawan untuk memudahkan operasi yang netral dari proses tersebut).
Menurut Privat dan M. Gudono (2000):
“Manajemen laba adalah suatu proses yang dilakukan dengan sengaja dalam batasan General Accepted accounting Principles (GAAP) untuk mengarah pada tingkatan laba yang dilaporkan. Manajemen laba adalah campur tangan manusia untuk menguntungkan diri sendiri”
Berdasarkan beberapa defenisi tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa manajemen laba adalah suatu strategi yang digunakan oleh manajemen dari suatu perusahaan untuk mengubah suatu laba perusahaan dengan bebas sehingga dapat mencapai target yang ditentukan. Contohnya manajemen bisa melakukan income maximization dengan cara merubah metode akuntansi yang digunakan untuk meningkatkan laba.
Dalam positive accounting theory terdapat tiga hipotesis yang melatarbelakangi terjadinya manajemen laba (Watt dan Zimmerman), dalam Rahmawati, dkk (2006), yaitu:
“1. Bonus plan Hypotesis
2. Debt convenant hypotesis
3. Political cost hypotesis.”
2.2.1 Hubungan Antara Asimetri Informasi Dengan Manajemen Laba
Asimetri informasi merupakan suatu keadaan dimana manajer memiliki akses informasi atas prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar perusahaan. Asimetri informasi akan mendorong manajer untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja manajer.
Pilihan metode akuntansi yang secara sengaja dipilih oleh manajemen untuk tujuan tertentu dikenal dengan sebutan manajemen laba atau Earnings management. Dalam kaitannya hubungan antara asimetri informasi dengan praktik manajemen laba ini sangat kuat dimana adanya asimetri informasi dapat mendorong manajemen untuk malakukan praktik manajemen laba. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rahmawati dkk. (2006) pada perusahaaan perbankan publik, yang berpendapat bahwa:
“Terdapat hubungan yang sistimatis antara magnitut asimetri informasi dan tingkat manajemen laba. Fleksibilitas manajemen untuk memanajemeni laba dapat dikurangi dengan menyediakan informasi yang lebih berkualitas bagi pihak luar. Kualitas laporan keuangan akan mencerminkan tingkat manajemen laba.”
2.2. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis
2.2.1. Kerangka Pemikiran
Pengungkapan informasi keuangan dan informasi yang relevan lainnya dalam laporan keuangan tahunan suatu perusahaan merupakan aspek penting dalam akuntansi keuangan. Laporan keuangan dimaksudkan untuk digunakan oleh berbagai pihak, termasuk manajemen perusahaan itu sendiri. Namun yang paling berkepentingan dengan laporan keuangan sebenarnya adalah para pengguna eksternal (diluar manajemen). Laporan keuangan tersebut penting bagi para pengguna eksternal terutama sekali karena kelompok ini berada dalam kondisi yang paling besar ketidakpastiannya (Ali, 2002). Para pengguna internal (para manajemen) memiliki kontak langsung dengan entitas atau perusahannya dan mengetahui peristiwa-peristiwa signifikan yang terjadi, sehingga tingkat ketergantungannya terhadap informasi akuntansi tidak sebesar para pengguna eksternal.
Situasi ini akan memicu munculnya suatu kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi (information asymmetry). Menurut Beaver yang dikutip oleh Puput Tri Komalasari (2001) menyatakan bahwa:
“Asimetri informasi adalah istilah untuk menggambarkan adanya dua kondisi investor dalam perdagangan saham yaitu investor yang more informed dan investor yang less informed”.
Sedangkan menurut Muh. Arief Ujiyantho (2007) menjelaskan asimetri informasi sebagai berikut:
“Asimetri informasi yaitu suatu kondisi di mana ada ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak manajemen sebagai penyedia informasi (prepaper) dengan pihak pemegang saham dan stakeholder pada umumnya sebagai pengguna informasi (user).
Dari pengertian-pengertian di atas maka kita dapat simpulkan bahwa asimetri informasi merupakan suatu kondisi dimana salah satu atau beberapa pihak yang terlibat dalam suatu proses transaksi memiliki informasi yang lebih baik atau lebih banyak dibandingkan dengan pihak lain yang juga terlibat dalam proses transaksi tersebut.
Menurut Scott (2000), terdapat dua macam asimetri informasi yaitu:
“ 1. Adverse selection, yaitu bahwa para manajer serta orang-orang dalam lainnya biasanya mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan investor pihak luar. Dan fakta yang mungkin dapat mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh pemegang saham tersebut tidak disampaikan informasinya kepada pemegang saham.
2. Moral hazard, yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak seluruhnya diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman. Sehingga manajer dapat melakukan tindakan diluar pengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak dan sebenarnya secara etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan.
Lev yang dikutip oleh Rahmawati dkk. (2006) berpendapat bahwa : “Ukuran pengamatan atas likuiditas pasar dapat digunakan untuk mengidentifikasi tingkat penerimaan asimetri infornasi yang dihadapi partisipan dalam pasar modal”. Likuiditas dalam suatu pasar mempunyai berbagai definisi dan interpretasi. Pengertian likuiditas yang paling sederhana adalah kemampuan untuk melakukan transaksi tanpa mengeluarkan biaya yang signifikan.
Kyle sebagaimana dikutip oleh Puput Tri Komalasari (2001) memecah likuiditas ke dalam 3 komponen, yaitu:
“Kerapatan (tightness), kedalaman (depth), dan resiliensi (resiliency)”. Kerapatan mengacu pada perbedaan harga transaksi dari harga efisien, yaitu harga yang seharusnya terjadi dalam kondisi ekuilibrium. Pedagang efek seringkali menetapkan harga bid dan ask sedikit di atas dan di bawah penilaian asset ekuilibrium. Suatu pasar yang mempunyai likuiditas sempurna berkaitan dengan kerapatan hanya akan terjadi bila spread yang terjadi antara bid dan ask yang ditetapkan adalah nol, sehingga pedagang dapat membeli dan menjual pada harga yang sama. Komponen kerapatan ini seringkali disebut dengan bid-ask spread.
Adanya asimetri informasi akan mendorong manajer untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerjadimana manejer bisa secara fleksibel untuk melakukan
manajemen laba. Scott (2000) mendefinisikan manajemen laba sebagai berikut:
“Given that managers can choose accounting policies from a set (for example, GAAP), it is natural to expect that they will choose policies so as to maximize their own utility and/or the market value of the firm”.
Dari definisi tersebut manajemen laba merupakan pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajer dari standar akuntansi yang ada dan secara alamiah dapat memaksimumkan utilitas mereka dan atau nilai pasar perusahaan. Scott (2000) juga membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua. Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontak utang, dan political costs (Opportunistic Earnings Management). Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting (Efficient Earnings Management), dimana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian, manajer dapat mempengaruhi nilai pasar saham perusahaannya melalui manajemen laba, misalnya dengan membuat perataan laba (income smoothing) dan pertumbuhan laba sepanjang waktu.
Praktik manajemen laba menurut Gumanti (2000) dapat menggunakan proksi discretionary accruals, yaitu:
“Discretionary accruals adalah kebijakan akuntansi akrual yang memberikan keleluasaan bagi manajer dalam menentukan jumlah transaksi aktual secara fleksibel”.
Jika terjadi discretionary accruals positif maka perusahaan melakukan income maximization, dan jika terjadi discretionary accruals negatif maka perusahaan melakukan income minimization.
Watt dan Zimmerman sebagaimana dikutip oleh Rahmawati, dkk. (2006) membagi motivasi manajemen laba menjadi tiga, yaitu:
“1. Bonus plan hypothesis.
2. Debt to equity hypothesis. debt to equity hypothesis
3. Political cost hypothesis. political cost hypothesis.”

Dari kutipan di atas dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Bonus plan hypothesis. hipotesis bonus plan menyatakan bahwa manajer pada perusahaan dengan bonus plan cenderung untuk menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatkan income saat ini.
2. Debt to equity hypothesis. debt to equity hypothesis menyebutkan bahwa pada perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity besar maka manajer perusahaan tersebut cenderung menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatkan pendapatan maupun laba, dan
3. Political cost hypothesis. political cost hypothesis menyatakan bahwa perusahaan yang besar, yang kegiatan operasinya menyentuh sebagian besar masyarakat akan cenderung untuk mengurangi laba yang dilaporkan.
Praktik manajemen laba hanya dapat dilakukan oleh manajer yang dapat mengobservasi laba ekonomi perusahaan untuk setiap periode. Sebaliknya, pihak lain mungkin dapat menarik kesimpulan sesuatu mengenai laba ekonomi dari laba yang dilaporkan oleh perusahaan, sebagaimana yang diungkapkan oleh manajer.
USchift dan Lewin dalam Arief Ujiyantho (2007) menjelaskan bahwa:
“Manajer berada posisi yang mempunyai lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan perusahaan secara keseluruhan dibandingkan dengan pemegang saham dan stakeholder. Dengan asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan informasi asimetri yang dimilikinya akan mendorong manajer untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui pemegang saham dan stakeholder. adanya kondisi yang asimetri, maka manajer dapat mempengaruhi angka-angka akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan dengan cara melakukan manajemen laba”.

pemegang saham ataupun stakeholder. Adanya asumsi bahwa individu-individu yang bertindak untuk memaksimalkan dirinya sendiri, mengakibatkan agent memanfaatkan adanya asimetri informasi tersebut untuk Dalam teori keagenan (agency theory) mengimplikasikan adanya asimetri informasi antara manajer sebagai agen dan pemilik (dalam hal ini adalah pemegang saham) sebagai prinsipal. Dalam hubungannya masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan antara pemegang saham dan manajer. Manajer memiliki informasi yang lebih banyak dari menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui oleh pemegang saham dan stakeholder. Dalam kondisi tersebut maka manajer dapat menggunakan informasi yang diketahuinya dalam memanipulasi pelaporan keuangan guna memaksimalkan kemakmuran. Oleh sebab itu maka agent memberikan informasi yang tidak sesuai dengan sebenarnya yaitu dengan melakukan praktik manajemen laba terhadap laporan keuangan yang diberikan kepada prinsipil.
1.2.2. Hipotesis
Berdasarkan penjelasan diatas, maka peneliti mencoba merumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: “Asimetri Informasi Berpengaruh Terhadap Praktik Manajemen Laba.”
OBJEK DAN METODE PENELITIAN
3.1. Objek Penelitian
Objek penelitian merupakan sesuatu yang menjadikan perhatian dalam suatu penelitian, objek penelitian ini menjadi sasaran dalam penelitian untuk mendapatkan jawaban ataupun solusi dari permasalahan yang terjadi.
Husein Umar (2003:303) menjelaskan pengertian dari objek penelitian sebagai berikut:
“Objek penelitian menjelaskan tentang apa atau siapa yang menjadi objek penelitian juga dimana dan kapan penelitian dilakukan. Biasa juga ditambahkan hal-hal lain jika dianggap perlu.”
Berdasarkan kutipan di atas dapat diuraikan bahwa objek penelitian dalam penelitian ini adalah tingkat asimetri informasi dan praktik manajemen laba.
3.2. Metode Penelitian
3.2.1. Desain Penelitian
Desain penelitian merupakan rancangan penelitian yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan proses penelitian. Desain penelitian akan berguna bagi semua pihak yang terlibat dalam proses penelitian, karena langkah dalam melakukan penelitian mengacu kepada desain penelitian yang telah dibuat.
Sugiyono (2008:13), menjelaskan proses penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:
“1. Sumber masalah
2. Rumusan masalah
3. Konsep dan teori yang relevan dan penemuan yang relevan
4. Pengajuan hipotesis
5. Metode penelitian
6. Menyusun instrument penelitian
7. Kesimpulan”.

3.2.2. Operasionalisasi Variabel
Operasional vaiabel merupakan proses penguraian variabel penelitian ke dalam subvariabel, dimensi, indikator sub variabel, dan pengukuran. Adapun syarat penguraian operasioanlisasi dilakukan bila dasar konsep dan indikator masing-masing variabel sudah jelas, apabila belum jelas secara konseptual maka perlu dilakukan analisis faktor.
Operasional variabel pada penelitian ini dijelaskan pada tabel 3.1. hal 19.
3.2.3. Sumber Data dan Teknik Penentuan Data
3.2.3.1. Sumber Data
Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan penulis adalah berupa data sekunder yaitu dengan cara men-download laporan keuangan dan harga saham PT Bumi Resources Tbk dari pojok BEJ yang terdapat di Universitas Sangga Buana (YPKP) dan mencari data-data lainnya tentang pengertian yang berkaitan dengan tema penelitian ini.
3.2.3.2. Teknik Penentuan Data
Teknik penentuan data dalam penelitian ini populasi yang berjumlah 26 tahun dengan menggunakan teknik nonprobabiliti sampling dengan jenis purposive sampling maka sampel yang di ambil adalah sebanyak lima tahun karena merupakan data terbaru dari perusahaan dan pada tahun tersebut telah terdapat fenomena yang menjadi objek penelitian.
3.2.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian mengenai peranan standar akuntansi keuangan murabahah dalam transaksi murabahah ada beberapa langkah, antara lain dengan penelitian lapangan seperti observasi, kuesioner dan wawancara, serta searcing (internet).
3.2.5.1. Rancangan Analisis
Dalam melakukan analisis terhadap data yang dikumpulkan, untuk mencapai suatu kesimpulan maka penulis melakukan uji statistik untuk mengetahui signifikan atau tidaknya pengaruh tingkat asimetri informasi terhadap praktik manajemen laba. Adapun alat analisis yang digunakan adalah analisis regresi linear sederhana, korelasi pearson, koefisien determinasi dan uji hipotesis (uji t).
Berdasarkan penjelasan di atas maka penulis mencoba menganalisis hipotesis penelitian dengan menggunakan :
1. Analisis Regresi Linier Sederhana
Analisis regresi digunakan untuk mengetahui persamaan matematika untuk memprediksi nilai variabel Y berdasarkan nilai variabel X yang diketahui, menurut Sugiyono (2007:243) menyatakan bahwa:
“Regresi linier sederhana didasarkan pada hubungan fungsional ataupun kausal satu variabel independen dengan satu variabel dependen”.
Adapun analisis regresi yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linier sederhana dengan alasan jumlah variabel bebas sebagai prediktor hanya satu sehingga persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:
Persamaan umum regresi linear sederhana :


Dimana :
Besar a dapat diketahui dengan rumus :





Sedangkan besar b dapat diketahui dengan rumus :





Keterangan :
Y : Subjek dalam variabel dependen yang diprediksikan
a : Koefisien regresi yang menunjukkan bilangan konstanta
b : Angka arah atau koefisien regresi, yang menunjukkan angka peningkatan ataupun penurunan variabel dependen. Bila b (+) maka terjadi kenaikan, dan bila (-) maka terjadi penurunan.
X : Subjek pada variabel independent yang mempunyai nilai tertentu
n : Banyaknya sampel


2. Analisis Korelasi Pearson
Di dalam pemilihan dan perhitungan statistik ini akan digunakan teknik analisis korelasi pearson. Analisis korelasi pearson ditujukan untuk mengukur derajat keerataan hubungan diantara variabel-variabel tersebut, apakah derajat hubungan diantara variabel-variabel tersebut sangat erat, cukup erat, atau tidak ada hubungan sama sekali.
Apabila antara variabel X dan Y yaitu masing-masing mempunyai skala sekurang-kurangnya interval dan hubungannya merupakan hubungan linear, maka keeratan pengaruh antara kedua variabel itu disebut dengan korelasi pearson yang diberi simbol untuk sampel dan populasi. Rumus untuk koefisien korelasi pearson adalah sebagai berikut:






Keterangan:
= koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y
n = banyaknya sampel
X = variabel bebas
Y = variabel tidak bebas
Pada hakekatnya koefisien korelasi terletak antara -1 dan +1, atau -1 ≤ r ≤ +1, di mana bila:
= 1 : menunjukkan hubungan linier positif sempurna antara X dan Y, dalam arti makin besar harga X makin besar pula harga Y, dan sebaliknya, makin kecil harga X makin kecil pula harga Y.
= -1 : menunjukkan hubungan linier negatif sempurna antara X dan Y, dalam arti makin besar harga X makin kecil harga Y, atau sebaliknya, makin kecil harga X makin besar harga Y.
= 0 : menunjukkan tidak ada hubungan linier antara X dan Y.

Tabel 3.2
Interprestasi Koefisien Korelasi
Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0,00 – 0,199 Sangat Rendah
0,20 – 0,399 Rendah
0,40 – 0,599 Sedang
0,60 – 0,799 Kuat
0,80 – 1,000 Sangat Kuat
Sumber: Statistka untuk ekonomi dan Bisnis;Andi Supangat;2006

3. Koefisien Determinasi
Nilai korelasi hanya menyatakan erat atau tidaknya hubungan antara variabel X dan variabel Y. Oleh karena itu, untuk mengetahui seberapa besar tingkat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen, digunakan koefisien determinasi. Koefisien determinasi adalah kuadrat koefisien korelasi yang menyatakan besarnya persentase perubahan Y yang bisa diterangkan oleh X melalui hubungan X dengan Y. Adapun rumus dari koefisien determinasi adalah sebagai berikut:



Keterangan:
Kd = Koefisien Determinasi
= Koefisien korelasi Pearson
100% = Pengali yang menyatakan dalam persentase