Entri Populer

Tayangan halaman minggu lalu

SELAMAT DATANG

Untuk informasi lebih lanjut klik disini
kunjungi juga blog kami lainya di

Rabu, 09 Desember 2009

Pngrh Perspsi Wjb Pjk Org Prbdi atas Prnsip Keadiln Pemngtan Pjk Thd Kpthn Wjb Pjk

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian
Pajak merupakan gejala sosial dan hanya terdapat dalam suatu masyarakat. Tanpa adanya masyarakat, tidak mungkin ada suatu pajak. Masyarakat yang dimaksudkan adalah masyarakat hukum. Perlu diketahui, bahwa manusia hidup bermasyarakat masing-masing (individu) membawa hak dan kewajiban. Pajak ditinjau dari segi mikroekonomi, merupakan peralihan uang (harta) dari sektor swasta/individu ke sektor masyarakat/pemerintah, tanpa ada imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk. Dengan diundangkannya undang-undang pajak baru, bertalian dengan pembaharuan pajak-pajak yang masih berbau kolonial, pemerintah mengalami kesulitan-kesulitan yang bertalian dengan itu. Selain rakyat harus dibuat menjadi sadar pajak, rakyat juga dijadikan tax minded dan sekaligus ditanamkan tax discipline yang kuat, didasari dengan kejujuran yang mantap. Walupun agak terlambat, namun belum merupakan kegagalan, sehingga masih dapat dilakukan usaha-usaha yang dapat menyelamatkan keuangan negara dan dengan demikian melangsungkan kehidupan negara. (Rochmat Soemitro,2004:5)
Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan aktif wajib pajak dalam menyelenggarakan perpajakan membutuhkan kepatuhan wajib pajak yang tinggi. Yaitu, kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang sesuai dengan kebenaran. Karena sebagian besar perpajakan itu dilakukan oleh wajib pajak, bukan fiskus pemungut pajak. Safri Nurmantu mengatakan bahwa kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. ( Sony Devano;110).
Pada prinsipnya, kepatuhan perpajakan adalah tindakan wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu negara. Predikat wajib pajak patuh dalam arti disiplin dan taat, tidak sama dengan wajib pajak yang berpredikat pembayar pajak dalam jumlah besar, tidak ada hubungan antara kepatuhan dengan jumlah nominal setoran pajak yang dibayarkan pada kas negara. Karena, pembayar pajak terbesar sekalipun belum tentu memenuhi kriteria sebagai wajib pajak patuh, meskipun memberikan kontribusi besar pada negara, jika masih memiliki tunggakan maupun keterlambatan penyetoran pajak maka tidak dapat diberi predikat wajib pajak patuh. Misalnya, ketentuan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Tahunan tanggal 31 Maret. Apabila wajib pajak telah melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Tahunan sebelum atau pada tanggal 31 Maret, maka wajib pajak telah memenuhi ketentuan formal, namun isinya belum tentu memenuhi ketentuan material, yaitu suatu keadaan dimana wajib pajak secara subtantif memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa Undang-undang Perpajakan. Kepatuhan material dapat meliputi kebutuhan formal. Wajib Pajak yang memenuhi kepatuhan material adalah wajib pajak yang mengisi dengan jujur, lengkap, dan benar surat pemberitahuan sesuai ketentuan dan menyampaikannya ke KPP sebelum batas waktu berakhir.
Masyarakat Wajib Pajak, terutama Wajib Pajak Orang Pribadi, sering mengeluhkan rumitnya sistem perpajakan di Indonesia. Biasanya yang menjadi tolok ukur kerumitan pajak itu adalah pengisian SPT. Bagi masyarakat pada umumnya, pengisian SPT dianggap sulit walaupun sebenarnya Direktorat Jenderal Pajak sudah membuat formulir tersebut sesederhana mungkin. Malahan disediakan buku petunjuk untuk lebih mempermudah pengisian SPT tersebut. Awal tahun ini malah diperkenalkan adanya SPT PPh Orang Pribadi Sangat Sederhana (formulir 1770 SS). Tapi memang relatif sulit bagi masyarakat kebanyakan untuk bisa memahami cara-cara pengisian SPT secara instan. Hal ini disebabkan bahwa pengisian SPT memerlukan pemahaman tentang konsep perpajakan. Belum lagi adanya istilah-istilah teknis dalam pajak yang tidak bisa dipahami secara mudah oleh masyarakat. Ditambah lagi adanya cara menghitung pajaknya yang berbeda-beda tergantung subjeknya, objeknya ataupun kondisinya.
Karena sulit dan rumitnya cara menghitung pajak dan menuangkanya dalam SPT, selalu ada suara-suara yang menghendaki agar masalah pajak ini dibuat mudah. Bukankah salah satu asas perpajakan adalah harus adanya kemudahan? Memang benar, bahwa praktek perpajakan harus dibuat semudah mungkin agar masyarakat bisa dengan mudah menunaikan kewajibannya menghitung dan menyetorkan pajak ke negara. Namun ada aspek lain yang harus diperhatikan dalam merumuskan ketentuan pajak. Aspek tersebut adalah keadilan.
Salah satu prinsip pajak yang harus dipenuhi dalam implementasi pajak adalah masalah keadilan ini. Memang agak sulit merumuskan pengertian adil. Tapi, paling tidak kondisi keadilan tersebut dapat dirasakan oleh kita dalam implementasinya. Penerapan tarif progresif, adanya PTKP, adanya deducctible dan non dedctible expense dan adanya penyusutan fiskal adalah beberapa contoh implementasi untuk menciptakan keadilan tersebut.
Sayangnya, dalam praktek perpajakan, asas kesederhanaan dan prinsip keadilan ini sering tidak sejalan dan malah bertentangan. Dengan kata lain, jika pajak dibuat sederhana maka aspek keadilan akan terabaikan. Sebaliknya, jika prinsip keadilan yang diutamakan maka aspek kesederhaan akan terabaikan. Untuk menggambarkan hal ini, saya coba memberikan contoh sederhana sebagai berikut. Apabila Pajak Penghasilan ingin dibuat mudah maka dibuat saja ketentuan bahwa “setiap penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak dikenakan Pajak Penghasilan 10%”. Apapun jenis penghasilannya, siapapun yang menerimanya, dari manapun sumbernya, maka Pajak Penghasilannya adalah 10% dari penghasilannya. Siapapun bisa menghitungnya. Tak perlu ada kursus pajak, tak perlu ada mata kuliah pajak, bahkan tak perlu banyak pegawai pajak untuk mengawasinya. SPT nya pun cukup satu lembar saja. Kondisi di atas memang implementasi pajak (penghasilan) yang sangat sederhana. Tapi jelas kondisi itu tak adil. Tentu harus dibedakan siapa penerimanya. Orang miskin atau orang kaya kah dia. Tarifnya pun tidak semestinya sama antara orang berpenghasilan rendah dengan orang berpenghasilan tinggi. Penghasilan aktif dan penghasilan pasif pun seharusnya dibedakan tarifnya. Untuk lebih adil lagi tentu harus diperhitungkan adanya biaya-biaya karena mungkin saja ada orang mengeluarkan biaya yang lebih tinggi dari penghasilannya. Untuk melindungi kelas bawah pun semestinya ada batas yang tidak dikenakan pajak.
(http://www.jurnalskripsi.com dan Pengkajian)
Aspek praktik dalam perpajakan sering disebut sebagai kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan (tax compliance work), yang sebagian besar pekerjaanya, baik dilakukan sendiri maupun dibantu oleh para ahlinya setiap bulan atau tahunnya untuk mengisi Surat Pemberitahuan. Hampir sebagian wajib pajak terpaksa harus mengeluarkan biaya untuk bantuan yang diterimanya dalam rangka pengisian Surat Pemberitahuan yang benar, lengkap, dan jelas akibat dari rumit dan kompleksnya ketentuan perundang-undangan perpajakan. Apalagi dengan di berlakukannya sistem Self Assessment wajib pajak mendapat beban yang berat karena wajib pajak harus melaporkan semua informasi yang relevan dalam Surat Pemberitahuannya, menghitung dasar pengenaan pajaknya, mengkakulasi jumlah pajak yang terutang dan melunasi pajak yang terutang atau mengangsur jumlah pajak yang terutang. Wajib pajak pun harus pula dengan sungguh-sungguh memperhatikan tanggal jatuh tempo atau tanggal menjelang jatuh tempo pengisian Surat Pemberitahuan dan pembayarannya, agar tidak dianggap bersalah melakukan kelalaian memenuhi kewajiban perpajakannya. Seperti yang ditulis oleh peneliti terdahulu bahwa tingkat kepatuhan dapat di ukur dengan melihat jumlah laporan SPT yang masuk dan jumlah wajib pajak efektif.
Kemudian dilihat dari segi kepatuhan wajib pajak ternyata kepatuhan wajib pajak orang pribadi masih sangat rendah hal ini terlihat dari jumlah wajib pajak yang terdaftar. Menurut perhitungan yang dilakukan oleh Dirjen Pajak dari 200 juta wajib pajak yang terdaftar hanya ada 5 juta saja yang mendaftarkan diri ke KPP, ini membuktikan bahwa tingkat kepatuhan pada wajib pajak sangat rendah. (sumber:klikpajak.com/artikel/artikel.php.). Jika dihubungkan dengan kantor Pelayanan pajak pratama bandung cicadas, memang jumlah wajib pajak terdaftar setiap tahunnya mengalami peningkatan namun peningkatan jumlah wajib pajak ini tidak dibarengi dengan jumlah peningkatan terhadap penerimaan SPT tahunannya terutama untuk SPT orang pribadi. Jumlah penerimaan SPT tahunan Orang Pribadi pada Kantor pelayanan pajak pratama Cicadas jika dilihat dari presentasenya justru mengalami penurunan dari tahun 2002 yang semula presentase penyampaian SPT mencapai 43,7% hingga tahun 2006 turun menjadi 33,3%. Hal ini dapat membuktikan bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak masih rendah (sumber : Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cicadas). Tentunya sikap ketidakpatuhan ini dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti salah satunya karena kelalaian atau kesengajaan yang dilakukan oleh wajib pajak, yang akan berakibat pada pengenaan sanksi jika ternyata setelah dilakukan pemeriksaan benar bahwa wajib pajak tersebut telah melakukan kesalahan.
Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan maka pemungutan pajak harus adil yakni sesuai dengan tujuan hukum, yaitu mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing, sedang adil dalam pelaksanakannya yakni memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada majelis pertimbangan pajak. Supaya kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan tersebut dapat berjalan dengan sempurna, tentunya harus ada kerja sama antara fiskus sebagai pemungut pajak dan wajib pajak sebagai pembayar pajak, baik itu menyangkut sikap dan aparatur perpajakan ataupun kepercayaan wajib pajak. Semua dapat berjalan adil apabila dalam ketentuan perundang-undangan tercantum dengan tegas mengenai hak dan kewajiban, sanksi baik yang menyangkut pembayar pajak maupun aparat perpajakan serta usaha untuk menutupi sejauh mungkin lubang-lubang yang akan digunakan oleh pembayar pajak untuk melakukan penghindaran pajak dan penyelundupan pajak di satu pihak serta penyalahgunaan wewenang oleh petugas pajak di pihak lain. Soal kejujuran merupakan hal yang lebih sulit karena kejujuran bertalian erat dengan moral seseorang yang terbentuk dalam masa yang panjang. Dan moral seseorang terbentuk sepanjang hidupnya yang erat sekali dengan pendidikan, lingkungan dan kekeluargaan. Mengubah moral yang sudah rusak tidak mudah dan memerlukan kesabaran hati dan waktu yang lebih panjang. (Rochmat Soemitro,2004:5)
Untuk mencapai sasaran dan tujuan perpajakan yaitu meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam rangka memberikan pemasukan pajak yang optimal, hendaknya sistem perpajakan berlandaskan suatu asas atau norma-norma yang sudah mapan. Menurut Adam Smith: “prinsip utama dalam rangka pemungutan pajak adalah keadilan dalam perpajakan yang dinyatakan dengan suatu pernyataan bahwa setiap warga negara hendaknya berpartisipasi dalam pembiayaan pemerintah, sedapat mungkin secara proporsional sesuai dengan kemampuan masing-masing, yaitu dengan cara membandingkan penghasilan yang diperolehnya dengan perlindungan yang dinikmatinya dari negara”. Beberapa waktu yang lalu para ekonom menyusun argumentasi normatif yang jelas mengenai keadilan dalam perpajakan, antara lain apa yang dikemukakan oleh Jhon F. Due, bahwa pada hakikatnya masalah keadilan dalam perpajakan adalah masalah pertambahan nilai dan tidaklah mungkin untuk melakukan pendekatan ilmiah guna merumuskan konsep keadilan tersebut.(Mohammad Zain,2005:25)
Sistem perpajakan yang adil adalah adanya perlakuan yang sama terhadap orang atau badan yang berada dalam situasi ekonomi yang sama (misalnya mempunyai penghasilan yang sama) dan memberikan perlakuan yang berbeda-beda terhadap orang atau badan yang berada dalam keadaan ekonomi yang berbeda-beda. Keadaan pertama yaitu perlakuan yang sama terhadap penghasilan yang disebut sebagai keadilan secara horizon, sedang yang kedua yang pada dasarnya berkenaan dengan distribusi beban pajak di antara masyarakat yang mempunyai penghasilan dan kekayaan yang berbeda-beda, lebih dikenal sebagai keadilan secara vertikal. Walaupun kelihatannya sederhana, namun prinsip ini tidaklah merupakan prinsip yang mudah dilaksanakan. (Siti Kurnia Rahayu;58)
Keadilan dalam perpajakan menghendaki penerapan suatu standar yang berpengaruh kepada kebebasan atau ketentuan khusus dan tidak memihak, misalnya standar atau kinerja apa yang digunakan untuk menetapkan besarnya pajak penghasilan, apakah akan dikenakan persentase yang sama terhadap semua tingkat penghasilan atau persentasenya meningkat apabila penghasilannya bertambah tinggi. Menetapkan standar yang fundamental tersebut, hanyalah langkah awal dari keadilan dalam perpajakan, akan tetapi begitu dilaksanakannya dasar yang fundamental tersebut akan muncul pula permasalahan. Secara umum mungkin perpajakan sudah dirasa adil (diperlakukan secara sama), tetapi ada kalanya bahwa apa yang adil secara umum, belum tentu adil dalam kasus tertentu (Redbruch).
Memperbaiki prinsip keadilan dan pemerataan yang terdapat dalam sistem perpajakan yang baru dibandingkan dengan keadaan sebelumnya, diharapkan akan memperbaiki dan mengembalikan kepercayaan masyarakat pembayar pajak akan adanya keadilan dalam perpajakan akibat perbaikan sistem tersebut. Banyak faktor yang menyebabkan hilangnya kepercayaan wajib pajak diantaranya, diskriminasi pajak, pelaksanaan undang-undang yang tidak jelas, tindakan yang tidak tegas terhadap kepatuhan dan penyelundupan pajak, pengisian SPT yang tidak jelas, tidak lengkap dan tidak benar, serta penagihan yang tidak menghasilkan penerimaan atau pelunasan pajak dan lain-lainnya.
Berdasarkan hal tersebut di atas bahwa, pengaruh prinsip keadilan dalam pemungutan pajak akan mempengaruhi kepatuhan wajib pajak, maka penulis tertarik untuk memberikan judul pada penelitian ini yaitu:
“Pengaruh Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi atas Prinsip Keadilan Pemungutan Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak”.




1.2 Identifikassi dan Rumusan Masalah
1.2.1 Identifikasi Masalah
Prinsip keadilan merupakan salah satu dari prinsip utama dalam rangka pemungutan pajak, yang menjelaskan bahwa setiap warga negara berpartisipasi dalam pembiayaan fungsi pemerintah suatu negara, secara proporsional sesuai dengan kemampuan masing-masing untuk menciptakan kesadaran agar dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya secara adil, karena dalam kenyataanya kesadaran wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya secara adil belum dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak seperti yang terjadi di KPP Pratama Majalaya.
1.2.2 Perumusan Masalah
1. Bagaimana persepsi wajib pajak orang pribadi atas prinsip keadilan pemungutan pajak di KPP Pratama Majalaya .
2. Bagaimana pengaruh persepsi wajib pajak orang pribadi atas kepatuhan wajib pajak di KPP Pratama Majalaya.
3. Bagaimana pengaruh persepsi wajib pajak orang pribadi atas prinsip keadilan pemungutan pajak terhadap kepatuhan wajib pajak pada KPP Pratama Majalaya.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 Maksud Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh, mengolah dan menganalisis data mengenai pengaruh prinsip keadilan pemungutan pajak terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi.
1.3.2 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaruh persepsi wajib pajak orang pribadi atas prinsip keadilan sistem pemungutan pajak di KPP Pratama Majalaya .
2. Untuk mengetahui pengaruh persepsi wajib pajak orang pribadi atas kepatuhan wajib pajak di KPP Pratama Majalaya.
3. Untuk mengetahui besarnya pengaruh persepsi wajib pajak orang pribadi atas prinsip keadilan pemungutan pajak terhadap kepatuhan wajib pajak pada KPP Pratama Majalya.
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis sebagai berikut :

1. Bagi Pengembangan Ilmu Akuntansi
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi tentang keterkaitan antara persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi atas prinsip keadilan pemungutan pajak yang mempengaruhi kepatuhan.
2. Bagi Peneliti Lain
Hasil Penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang ingin mengkaji dalam bidang yang sama.
3. Bagi Peneliti
Penelitian ini dijadikan sebagai uji kemampuan dalam menerapkan teori-teori yang diperoleh diperkuliahan terkait dengan prinsip keadilan pemungutan pajak yang mempengaruhi kepatuhan.
1.4.2 Kegunaan Praktis
1. Bagi KPP Pratama Majalaya.
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat Dapat dipergunakan sebagai bahan masukan, bahan pertimbangan serta evaluasi dalam memenuhi prinsip keadilan pemungutan pajak.
2. Bagi Pegawai KPP Pratama Majalaya.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kepatuhan yang dilaksanakan Wajib Pajak Orang Pribadi.
1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian
1.5.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Majalaya yang berlokasi di jalan Peta No. 7 Bandung.
1.5.2 Waktu Penelitian
Adapun waktu penelitian mulai dari pengumpulan data sampai dengan
penyusunan, di mulai dari bulan Maret 2009 sampai dengan Agustus2009.


Tabel 1.1
Jadwal Penelitian
Bulan
Tahap Prosedur Maret April Mei Juni Juli agst
I Tahap Persiapan:
1. Membuat outline dan proposal skripsi
2. Mengambil formulir penyususnan skripsi
3. Menentukan tempat penelitian
II Tahapan Pelaksanaan:
1. Mengajukan outline dan proposal skripsi
2. Meminta surat pengantar keperusahaan
3. Penelitian
4. Penyusunan skripsi
III Tahap Pelaporan:
1. Menyiapkan draft skripsi
2. Sidang akhir skripsi
3. Penyempurnaan laporan skripsi
4. Penggandaan skripsi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

keterangan lebih lanjut
isi pesan disini